Siapa mengira ketika tanggungjawab sebagai agent social of change and control yang
dimiliki oleh mahasiswa kini mulai tidak tampak lagi. Dari sekian keterpurukan
prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa, akhirnya hal ini hanya sebatas nama. Sehingga
kesadaran untuk melakukan perubahan seakan terhenti pada satu tumpuan yakni
akademik kampus. Dimana realitas mahasiswa hari ini lebih terlena dengan
kehidupan kampus yang menekuni aktivitas akademik, daripada melakukan advokasi ditengah-tengah
masyarakat.
Realita ini diperparah dengan sistem birokrasi yang
mengekang kreativitas mahasiswa. Dengan diberlakukannya absensi 75 % yang hampir
merata diseluruh kampus di Indonesia, seolah hal ini mengkerdilkan peranan
mahasiswa. Ketika mahasiswa melakukan sebuah advokasi yang terukur di masyarakat,
tetapi harus terbentur dengan tuntutan kampus dalam mengejar akademik. Sehingga
jam kerja untuk masyarakat terposir hanya untuk memenuhi kewajiban dikampus.
Belum berbicara soal gaya hidup mahasiswa hari ini.
Dimana mereka lebih bangga bersikap hedonis daripada berbincang masalah seputar
kebangsaan atau realita yang terjadi disekitar kehidupan kita. Padahal,
mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Seperti yang telah dicontohkan para founding
father kita, seyogyanya mahasiswa tidak hanya sebagai insan akademik
belaka, lebih dari itu dituntut untuk mampu mengaplikasikan ilmu akademik di
dalam kehidupan nyata.
Menumbuhkan Kesadaran
Fakta ini diperkuat dengan melihat teori dalam ilmu
sosial. Dalam catatan Paulo Freire (1970) dalam buku pedagogy of the
oppressed, kesadaran manusia itu dibagi ke dalam beberapa hal. Pertama,
kesadaran magis (magical consciousness). Suatu teori kesadaran yang
percaya akan adanya masyarakat tertindas dalam struktur sosial. Sehingga analisisnya
mengarah pada faktor diluar manusia. Dalam perspektif Freirean disebut sebagai
teori sosial fatalistik. Bagi golongan ini biasanya acuh tak acuh dengan
keadaan lingkungan yang ada disekitarnya.
Mereka tidak mau tahu apa yang menimpa orang lain.
Sehingga karakteristik orang seperti ini lebih identik dengan egois dan
pragmatis yang hanya mementingkan diri sendiri. Tanpa melihat sesungguhnya yang
terjadi pada realita serta kondisi dalam masyarakat.
Kedua,
kesadaran naif (naival consciousness). Kesadaran ini dikategorikan dalam
kesadaran masyarakat. Dalam kesadaran ini berkaitan dengan masalah etika dalam
perubahan sosial. Manusia jika sudah menjadi bagian dari kesadaran naif,
keinginan tahu terhadap realita cukup tinggi. Akan tetapi, untuk melakukan
sebuah perubahan mereka tidak seperti apa yang ada pada kesadarannnya. Identik
orang seperti ini hanya cukup tahu persoalan tanpa melakukan sebuah tindakan.
Selanjutnya, yang Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness).
Kesadaran ini lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sumber masalah.
Lebih mendekati pada analisis secara kritis struktural dari sistem politik,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dalam aplikasinya, orang seperti ini
identik dengan keingintahuannya cukup tinggi. Kemudian, setelah mengetahui
persoalannya mereka bergegas untuk melakukan sebuah tindakan demi perubahan.
Oleh karenanya, dari kategori kesadaran di atas, kita sebagai
insan manusia setidaknya berkaca pada diri sendiri, termasuk bagian darimana diri
kita. Sehingga dalam menjalankan peranan mahasiswa tidak lagi dituntut hanya
karena kepentingan akademik belaka. Tetapi, benar-benar murni kesadaran yang
timbul dalam hati sanubari kita.
Kemudian, dalam melakukan sebuah tindakan untuk sebuah
perubahan di dalam masyarakat. Tidak lagi berbicara tentang siapa yang harus
melakukan tindakan, jika dihadapan kita (seperti sistem birokrasi pemerintah)
banyak kemunafikan dan penyelewengan yang dianggap sudah mencederai amanah
konstitusi, maka kesadaran itu akan timbul. Baik diimplementasikan dalam bentuk
aksi demonstrasi, unjuk rasa, forum ilmiah, media tulisan dan lain sebagainya.
Maka dari itu, ketika kita
melihat banyak kemunafikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang terjadi
akhir-akhir ini krisis disintegrasi yang mengancam bumi Indonesia, mulai dari
krisis Papua, Mesuji dan Bima, masalah
itu sejatinya menjadi tumpuan untuk melakukan sebuah tindakan.
Namun, sebelum jauh menjawab persoalan itu,
tidak kemudian hanya berbicara dengan tong
kosong nyaring bunyinya. Dalam hal ini, tentu sebagai mahasiswa tidak hanya
sebatas retorika tapi perlu melakukan analisis yang cukup panjang. Sehingga
untuk menopang itu semua, wacana intelektual yang dikantongi diri sebagai
mahasiswa harus cukup dan mapan. Tidak hanya sebatas lantunan kata yang tiada
arti.
Oleh karena itu, sebuah
keniscayaan apabila mampu sadar tanpa ada paksaan dari pihak lain. Ketika akan
melakukan sebuah tindakan perubahan di dalam kehidupan bangsa ini. Untuk itu,
satu hal yang pasti harus kita miliki adalah wacana ilmu pengetahuan yang mapan. Demi terwujudnya masa depan
Indonesia gemilang, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.
0 komentar:
Posting Komentar