iklan

iklan murah

Kamis, 07 Juni 2012

Reaktualisasi Kesadaran (Peran) Mahasiswa



Siapa mengira ketika tanggungjawab sebagai agent social of change and control yang dimiliki oleh mahasiswa kini mulai tidak tampak lagi. Dari sekian keterpurukan prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa, akhirnya hal ini hanya sebatas nama. Sehingga kesadaran untuk melakukan perubahan seakan terhenti pada satu tumpuan yakni akademik kampus. Dimana realitas mahasiswa hari ini lebih terlena dengan kehidupan kampus yang menekuni aktivitas akademik, daripada melakukan advokasi ditengah-tengah masyarakat.  
Realita ini diperparah dengan sistem birokrasi yang mengekang kreativitas mahasiswa. Dengan diberlakukannya absensi 75 % yang hampir merata diseluruh kampus di Indonesia, seolah hal ini mengkerdilkan peranan mahasiswa. Ketika mahasiswa melakukan sebuah advokasi yang terukur di masyarakat, tetapi harus terbentur dengan tuntutan kampus dalam mengejar akademik. Sehingga jam kerja untuk masyarakat terposir hanya untuk memenuhi kewajiban dikampus.
Belum berbicara soal gaya hidup mahasiswa hari ini. Dimana mereka lebih bangga bersikap hedonis daripada berbincang masalah seputar kebangsaan atau realita yang terjadi disekitar kehidupan kita. Padahal, mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang telah dicontohkan para founding father kita, seyogyanya mahasiswa tidak hanya sebagai insan akademik belaka, lebih dari itu dituntut untuk mampu mengaplikasikan ilmu akademik di dalam kehidupan nyata.
Menumbuhkan Kesadaran
Fakta ini diperkuat dengan melihat teori dalam ilmu sosial. Dalam catatan Paulo Freire (1970) dalam buku pedagogy of the oppressed, kesadaran manusia itu dibagi ke dalam beberapa hal. Pertama, kesadaran magis (magical consciousness). Suatu teori kesadaran yang percaya akan adanya masyarakat tertindas dalam struktur sosial. Sehingga analisisnya mengarah pada faktor diluar manusia. Dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Bagi golongan ini biasanya acuh tak acuh dengan keadaan lingkungan yang ada disekitarnya.
Mereka tidak mau tahu apa yang menimpa orang lain. Sehingga karakteristik orang seperti ini lebih identik dengan egois dan pragmatis yang hanya mementingkan diri sendiri. Tanpa melihat sesungguhnya yang terjadi pada realita serta kondisi dalam masyarakat.   
Kedua, kesadaran naif (naival consciousness). Kesadaran ini dikategorikan dalam kesadaran masyarakat. Dalam kesadaran ini berkaitan dengan masalah etika dalam perubahan sosial. Manusia jika sudah menjadi bagian dari kesadaran naif, keinginan tahu terhadap realita cukup tinggi. Akan tetapi, untuk melakukan sebuah perubahan mereka tidak seperti apa yang ada pada kesadarannnya. Identik orang seperti ini hanya cukup tahu persoalan tanpa melakukan sebuah tindakan. 
Selanjutnya, yang Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran ini lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sumber masalah. Lebih mendekati pada analisis secara kritis struktural dari sistem politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dalam aplikasinya, orang seperti ini identik dengan keingintahuannya cukup tinggi. Kemudian, setelah mengetahui persoalannya mereka bergegas untuk melakukan sebuah tindakan demi perubahan.
Oleh karenanya, dari kategori kesadaran di atas, kita sebagai insan manusia setidaknya berkaca pada diri sendiri, termasuk bagian darimana diri kita. Sehingga dalam menjalankan peranan mahasiswa tidak lagi dituntut hanya karena kepentingan akademik belaka. Tetapi, benar-benar murni kesadaran yang timbul dalam hati sanubari kita. 
Kemudian, dalam melakukan sebuah tindakan untuk sebuah perubahan di dalam masyarakat. Tidak lagi berbicara tentang siapa yang harus melakukan tindakan, jika dihadapan kita (seperti sistem birokrasi pemerintah) banyak kemunafikan dan penyelewengan yang dianggap sudah mencederai amanah konstitusi, maka kesadaran itu akan timbul. Baik diimplementasikan dalam bentuk aksi demonstrasi, unjuk rasa, forum ilmiah, media tulisan dan lain sebagainya.
            Maka dari itu, ketika kita melihat banyak kemunafikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini krisis disintegrasi yang mengancam bumi Indonesia, mulai dari krisis  Papua, Mesuji dan Bima, masalah itu sejatinya menjadi tumpuan untuk melakukan sebuah tindakan.
             Namun, sebelum jauh menjawab persoalan itu, tidak kemudian hanya berbicara dengan tong kosong nyaring bunyinya. Dalam hal ini, tentu sebagai mahasiswa tidak hanya sebatas retorika tapi perlu melakukan analisis yang cukup panjang. Sehingga untuk menopang itu semua, wacana intelektual yang dikantongi diri sebagai mahasiswa harus cukup dan mapan. Tidak hanya sebatas lantunan kata yang tiada arti.
            Oleh karena itu, sebuah keniscayaan apabila mampu sadar tanpa ada paksaan dari pihak lain. Ketika akan melakukan sebuah tindakan perubahan di dalam kehidupan bangsa ini. Untuk itu, satu hal yang pasti harus kita miliki adalah wacana ilmu pengetahuan yang mapan. Demi terwujudnya masa depan Indonesia gemilang, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.
             

     

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators