Wacana tentang kondisi kaum muda
Indonesia akhir-akhir ini menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kata-kata
yang mengistilahkan kebiasaan mereka seperti hedonisme, konsumerisme,
plagiatisme, materialisme dan lain sebagainya tak kurang setiap hari di
perdengarkan, terkadang sumpah serapah dari orang-orang bijak di negeri
Nusantara juga mewarnai olok-olokan untuk pemuda di era globalisasi ini yang
telah kehilangan jati dirinya, pudarnya nasionalisme di dada mereka. Benarkah ?
Peringatan Soempah Pemoeda yang
baru saja berlalu sekejap mengangkat kepermukaan publik tentang borok mental
penerus bangsa. Aktivis dari berbagai lembaga dan para tokoh negeri yang masih
mempunyai idealisme untuk kemajuan Indonesia angkat suara mengabarkan kepada
masyarakat Indonesia bahwa generasi bangsa ini sedang sakit, buta, lupa,
terlena, hilang arah, amoral, tak bercita luhur dan banyak lagi kata untuk
menyebut kondisi anak bangsa saat ini. Meluncur dari berbagai media seakan
menjadi nuklir yang meluluhlantahkan apa yang di terpanya.
Namun, ternyata yang diterpa
nuklir itu hanya segelintir oknum dari bangsa ini, dia tidak sedahsyat
menghujam Hirosima dan Nagasaki yang mengakibatkan kesadaran pada bangsa Jepang
untuk segera bangkit dari keterpurukan. Diluar sana masih terlalu banyak
pihak-pihak yang tidak tersentuh radiasinya, atau sengaja menguburnya
dalam-dalam agar bangsa ini tertidur pulas atas keterpurukannya, penindasan dan
penjajahan yang tidak disadarinya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan
progresifitas putra-putri bangsa bermain dengan sangat halus dan cantik karena
kepentingan-kepentingan yang mereka ingin capai. Melalui media, kebijakan
politik, pendidikan, penggerusan budaya nasional dan lain sebagainya yang
mengarah pada suksesi kepentingan mereka. Lalu siapakah yang bertanggung jawab?
Kita bisa menilik realita ini
dari media informasi dan teknologi yang pada masa ini seakan menjadi guru besar
yang barang siapa tidak mematuhinya, maka kutukan akan menghantuinya. Tawaran
yang diajukan sang guru besar 80% adalah tuntunan ritual agama hedonisme dan
sejawatnya. Sementara 20% sisanya masih bisa dikatakan memberikan stimulus
untuk generasi bangsa meneruskan cita-cita kemerdekaan. Penikmat TV tak lagi
nyaman melihat tayangan edukatif, akan lebih menduduk maniskan tayangan yang
memberikan hiburan semata dan memacu hawa nafsu meningkat. Ketika seorang anak
SMA ditanya “paling suka nonton acara apa?” anda sudah tahu jawabannya, yang
pasti anda juga tahu bahwa acara itu tidak sedikitpun mengajarkan nilai-nilai
Pancasila . benarkan ?
Di sisi lain, pendidikan yang
menjadi embrio kwalitas generasi tak kunjung memberikan solusi. Sampai sekarang
tak tercetuskan kurikulum yang benar-benar mampu menanamkan moral,
membangkitkan nasionalisme, membentuk mental patriotis serta merangsang peserta
didik untuk membangun negeranya. Yang ada lembaga pendidikan menjadi ladang
bisnis yang menggiurkan dengan berlomba-lomba menaikkan SPP , mencetak
robot-robot intelektual yang siap menjadi budak untuk pembelinya, dan menjadi
ajang gengsi si kaya terhadap si miskin. Setuju bukan ?
0 komentar:
Posting Komentar