iklan

iklan murah

Kamis, 07 Juni 2012

pemuda


Wacana tentang kondisi kaum muda Indonesia akhir-akhir ini menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kata-kata yang mengistilahkan kebiasaan mereka seperti hedonisme, konsumerisme, plagiatisme, materialisme dan lain sebagainya tak kurang setiap hari di perdengarkan, terkadang sumpah serapah dari orang-orang bijak di negeri Nusantara juga mewarnai olok-olokan untuk pemuda di era globalisasi ini yang telah kehilangan jati dirinya, pudarnya nasionalisme di dada mereka. Benarkah ?
Peringatan Soempah Pemoeda yang baru saja berlalu sekejap mengangkat kepermukaan publik tentang borok mental penerus bangsa. Aktivis dari berbagai lembaga dan para tokoh negeri yang masih mempunyai idealisme untuk kemajuan Indonesia angkat suara mengabarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa generasi bangsa ini sedang sakit, buta, lupa, terlena, hilang arah, amoral, tak bercita luhur dan banyak lagi kata untuk menyebut kondisi anak bangsa saat ini. Meluncur dari berbagai media seakan menjadi nuklir yang meluluhlantahkan apa yang di terpanya.
Namun, ternyata yang diterpa nuklir itu hanya segelintir oknum dari bangsa ini, dia tidak sedahsyat menghujam Hirosima dan Nagasaki yang mengakibatkan kesadaran pada bangsa Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan. Diluar sana masih terlalu banyak pihak-pihak yang tidak tersentuh radiasinya, atau sengaja menguburnya dalam-dalam agar bangsa ini tertidur pulas atas keterpurukannya, penindasan dan penjajahan yang tidak disadarinya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan progresifitas putra-putri bangsa bermain dengan sangat halus dan cantik karena kepentingan-kepentingan yang mereka ingin capai. Melalui media, kebijakan politik, pendidikan, penggerusan budaya nasional dan lain sebagainya yang mengarah pada suksesi kepentingan mereka. Lalu siapakah yang bertanggung jawab?
Kita bisa menilik realita ini dari media informasi dan teknologi yang pada masa ini seakan menjadi guru besar yang barang siapa tidak mematuhinya, maka kutukan akan menghantuinya. Tawaran yang diajukan sang guru besar 80% adalah tuntunan ritual agama hedonisme dan sejawatnya. Sementara 20% sisanya masih bisa dikatakan memberikan stimulus untuk generasi bangsa meneruskan cita-cita kemerdekaan. Penikmat TV tak lagi nyaman melihat tayangan edukatif, akan lebih menduduk maniskan tayangan yang memberikan hiburan semata dan memacu hawa nafsu meningkat. Ketika seorang anak SMA ditanya “paling suka nonton acara apa?” anda sudah tahu jawabannya, yang pasti anda juga tahu bahwa acara itu tidak sedikitpun mengajarkan nilai-nilai Pancasila . benarkan ?
Di sisi lain, pendidikan yang menjadi embrio kwalitas generasi tak kunjung memberikan solusi. Sampai sekarang tak tercetuskan kurikulum yang benar-benar mampu menanamkan moral, membangkitkan nasionalisme, membentuk mental patriotis serta merangsang peserta didik untuk membangun negeranya. Yang ada lembaga pendidikan menjadi ladang bisnis yang menggiurkan dengan berlomba-lomba menaikkan SPP , mencetak robot-robot intelektual yang siap menjadi budak untuk pembelinya, dan menjadi ajang gengsi si kaya terhadap si miskin. Setuju bukan ?


0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators