iklan

iklan murah

Kamis, 07 Juni 2012

mahasiswa ideal


Ketika penulis kontak dengan mahasiswa baru waktu ospek. Mengingatkan saya kembali petuah soekarno ”berikan 10 pemuda maka akau akan merubah indonesia”, harapan optimis pun kembali hadir dalam sanubariku terhadap masadepan bangsa Indonesia. Karena diwajah mereka terpotret generasi muda yang mempunyai jiwa semangat untuk masa depan ini. Maklum, ketika masuk sebagiannya belum bisa memahami bagaimana hidup sendiri dan menjadi hidup yang bertanggung jawab. Saya tidak tahu apakah anggapan ini akan terus terjawab beberapa tahun kedepan. Jawabanya ada di sang pelaku. Ada banyak pilihan yang akan dijalani oleh mahasiswa baru : akademsi orientid – tidak peduli atmosfir kampus yang kemudiam menjadi pecundang atas sesama mahasiswa  atau menjadi mahasiswa kritis atas fenomena sosial kemudian akan menjadi serangkaian sejarah dalam perbincangan nusantara ini ataukah pilihan ketiga, tidak memilih dua-duanya yang kemudian menjadi pecundang birokrasi dan sesama mahasiswa.

Alih-alih mahasiswa selalu disebut agent social changes. Apakah predikat itu masih pantas disematkan, biar publiklah yang memilih. Ketika kita merekam ruang gerak pemuda dalam persfektif sejarah, akan banyak ditemukan peran mahsiswa. Kurun waktu 1905-1908 awal berdirinya boedi utomo, 1928 (sumpa pemuda), 1945 (kemerdekan bangsa Indonesia), 1998 (Masa revormasi). Disetiap momentum tersebut pemuda indonesia selalu berperan. Saya kembali mengimformasikan data tersebut bukam berarti euforia historitas. Marilah kita memperbincangkan mahasiswa dalam konteks yang lebih luas lagi. Ruang mahasiswa merupakan pintu awal dalam memberikan peran bangsa kedepan yang akan menggantikan generasi tua. Kita semua sadar kalau peran mahasiswa tidak akan dipandang sebelah mata dalam memberikan peran publik dan suatu keharusan menggantikan generasi tua.

            Ternyata tidaklah mudah memposisikan mahasiswa sebagai agent perubahan. Karena untuk mempunyai kesadaran demikian membutuhkan perjalanan panjang yang harus dilalui. ”Kesadaran”, kata-kata itulah menjadi kata kunci mahasiswa akan mempunyai lebel ’ideal’–mungkin ketika dia (mahasiswa-red) memerankan perannya sebagaimana mestinya. Berbicara kesadaran akan banyak melahirkan kategori mahasiswa. Ada mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab pribadi juga tanggung jawabnya terhada masyarakat. Namun, sekarang kita tidak sedang memponis kita termasuk kategori mana? Yang pasti kesadaran terbangun akan dipengerahui oleh penglaman seseorang, demikian kata dalam bukunya pendidikan berbasis realita. Dengan demikian semikin luas rung gerak mahasiswa dalam berproses dalam dunia akaademiknya, maka kesadaran tersebut akan cepat berkembang.

            Sehabis saya membaca beberapa karya paolo freire, saya baru menumkan makna pendidikan yang sebenarnya. Ternyata sekolah maupun kuliah tidak hanya sekadar cari ijazah, kerja, teman ataupun cari pengalaman. Makna pendidikan yang paling substansial adalah bagaimana membangun kesadaran seseorang. Jika kesadaran itu sudah terbangun dalam diri seorang, maka secara otomatis apa yang diharapkan dalam dimensi pendidikan akan tercapai semua. Karena dengan kesadaran seorang akan berpikir bagaiamana menjadi manusia yang bertanggung jawab pada diri sendiri, kelurga, masyarakat pada konteks yang lebih luas lagi terhadap Bangsa Indonesia.

Dengan adanya kesadaran tanggung jawab terhadap diri sendiri, dia akan berpikir bagaimana agar dirinya berguna untuk atas sesama yang berda disekitarnya, jika dia mahasiswa maka dia akan berpikir bagaimana dirinya memberikan peran terhadap almamaternya. Kalau kita meminjam kerangka berpikir freire kasadaran eksistensi–dirinya ada maka ia akan berpikir asas manfaat keberadaan dirinya. Seseorang akan menjadi sukses jika dalam dirinya tertanam kesadaran tangung jawab terhadap keluarga dan masyarakat, tanpa kita cita-citakan pekerjaanpun telah kita dapatkan. Mahasiswa tidak hanya kuliah saja, tentunya dia akan berdialektika pada ruang-runga lain–berorganisasi, membaur dengan masyrakat sekitar, mengikuti perkembangan isu-isu aktual yang terkait dengan kebangsaan dan media lain sebagainya yang pasti terkait dengan rasa nasionalisme. Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kesadaran tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya.

Budaya ilmiah merupakan demiensi pendidikan demokratis, dari itu harus kita budayakan hal tersebut. Budaya dialog akan mengahasilkan orang-orang kritis, terlepas dari apakah dedongkot birokrasi takut punya mahasiswa yang sering mengkritisi kebijakan mereka. Akan tetapi, yang pasti sejak konversi IAIN menjadi UIN, disertai peraturan yang tidak bersahabat dengan mahasiswa, seperti diperlakukannya jam malam dikantor pusat kegiatan mahasiswa, digabungnya seluruh kegiatan mahasiswa didalam satu gedung, dan yang paling menonjol diberlakukan absensi 75 %, tak cukup disitu, surat ijinpun tak berlaku kecuali dari dokter. Sekian paraturan tersebut akan membunuh kreatipitas mahasiswa, terutama surat izin tak berlaku. Secara implisit, seolah-olah mahasiswa dibatasi untuk memperoleh pengetahuan diruang-ruang kulturtal. Sehingga sangatlah wajar kalau ada pandangan-pandangan miring dari kampus tetangga (UGM, UNY) mahasiswa UIN sudah tak kritis lagi, budaya diskusipun sudah tak terlihat dari pandangan mata. Padahal pada era 2000 kebawa, yang namanya IAIN begitu nyaman dengan pandangan disetiap pojok kampus ada forum-forum diskusi.

Jika permasalahan tersebut masih diindahkan oleh civitas akdemik terutama mahasiswa, artinya mahasiswa tidak membudayakan pendidikan yang kritis-dialogis. Berarti kita membiarkan Indonesia dalam keadaan terpuruk seperti sekarang ini–krisis multidemensi. Secara prosentase kita mendapatkan ilmu dibangku kuliah hanya 30 %, selebihnya kita dapatkan diruang-ruang kultural–dari baca buku, diskusi, seminar, pelatihan dan lain sebagainya. Menurut hemat penulis, belajar dari pengalaman dan hasil pemahaman teori-toeri pendidikan, justru diruang kulutrulah kita memperoleh pengetahuan secara maksimal–bukan berarti kuliah itu tidak penting. Karena diruang kultural kita bersentuhan langsung dengan realitas sosial sehingga kesadaran akan capat terbangun. Memang kurikulum yang ideal harus berbasis realitas. jika kedaran sudah terbangun pada diri insan akademik berarti dia telah mendapatkan esensi pendidikan yang sebenarnya.
Karena sia-sia kita sukses diakaemik kalau kesadadaran tidak terbangun. Percuma nilai IPK 4,0 kalau tidak mempunyai kesadarn sosial, sehingga ia menjadi mahasiswa yang individual, tidak memberikan manfaat disekitar lingkungan dimana dia berada. Padahal mahasiswa ideal adalah kita diluar kampus dia memposikan diri bagian dari masyarakat yang akan memberikan kontribusi pada masyarakat tersebut. Percuma punya jabatan yang tinggi kalu tidak mempunyai kesadaran membangun, sehingga yang terbangun karekter opertunis dan menindas yang lemah. Percuma menjadi dosen yang cerdas, tapi tidak punya kesadaran pendidikan yang demokratis sehingga cendrung mengajar seadanya, karena meraka menganggap mahsiswa sebagai objek.

Bukankah budaya berdiskusi dan berdialog merupakan bagian upaya pendidikan yang demokrtis. Andaikan mahasiswa-mahasiswa indonesia mempunyai jiwa kritis yang tinggi dan mempunyai budaya diskusi. Mungkin di Indonesia akan berkembang budaya pendidikan yang demokratis, bisa jadi mutuh pendidikan indonesia akan meningkat dalam sekala Dunia. Selanjutnya, jika pendidikan Inidonesia sudah bermutuh seperti negara-negara maju dunia, mungkinkah Indonesia akan bangun dari kondisi krisis berbagai bidang....????

*Penulis adalah Korp SMART’05 Kader PMII Rayon Syahadat Fak. Dakwah UIN Ss-Ka.



0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators