Ketika penulis kontak
dengan mahasiswa baru waktu ospek. Mengingatkan saya kembali petuah soekarno
”berikan 10 pemuda maka akau akan merubah indonesia”, harapan optimis pun
kembali hadir dalam sanubariku terhadap masadepan bangsa Indonesia. Karena
diwajah mereka terpotret generasi muda yang mempunyai jiwa semangat untuk masa depan
ini. Maklum, ketika masuk sebagiannya belum bisa memahami bagaimana hidup
sendiri dan menjadi hidup yang bertanggung jawab. Saya tidak tahu apakah
anggapan ini akan terus terjawab beberapa tahun kedepan. Jawabanya ada di sang
pelaku. Ada banyak pilihan yang akan dijalani oleh mahasiswa baru : akademsi
orientid – tidak peduli atmosfir kampus yang kemudiam menjadi pecundang atas
sesama mahasiswa atau menjadi mahasiswa
kritis atas fenomena sosial kemudian akan menjadi serangkaian sejarah dalam
perbincangan nusantara ini ataukah pilihan ketiga, tidak memilih dua-duanya yang
kemudian menjadi pecundang birokrasi dan sesama mahasiswa.
Alih-alih mahasiswa selalu disebut agent social changes. Apakah predikat
itu masih pantas disematkan, biar publiklah yang memilih. Ketika kita merekam
ruang gerak pemuda dalam persfektif sejarah, akan banyak ditemukan peran
mahsiswa. Kurun waktu 1905-1908 awal berdirinya boedi utomo, 1928 (sumpa
pemuda), 1945 (kemerdekan bangsa Indonesia), 1998 (Masa revormasi). Disetiap
momentum tersebut pemuda indonesia selalu berperan. Saya kembali
mengimformasikan data tersebut bukam berarti euforia historitas. Marilah kita
memperbincangkan mahasiswa dalam konteks yang lebih luas lagi. Ruang mahasiswa
merupakan pintu awal dalam memberikan peran bangsa kedepan yang akan
menggantikan generasi tua. Kita semua sadar kalau peran mahasiswa tidak akan
dipandang sebelah mata dalam memberikan peran publik dan suatu keharusan menggantikan
generasi tua.
Ternyata
tidaklah mudah memposisikan mahasiswa sebagai agent perubahan. Karena untuk
mempunyai kesadaran demikian membutuhkan perjalanan panjang yang harus dilalui.
”Kesadaran”, kata-kata itulah menjadi kata kunci mahasiswa akan mempunyai lebel
’ideal’–mungkin ketika dia (mahasiswa-red) memerankan perannya sebagaimana
mestinya. Berbicara kesadaran akan banyak melahirkan kategori mahasiswa. Ada
mahasiswa yang sadar akan tanggung jawab pribadi juga tanggung jawabnya terhada
masyarakat. Namun, sekarang kita tidak sedang memponis kita termasuk kategori
mana? Yang pasti kesadaran terbangun akan dipengerahui oleh penglaman seseorang,
demikian kata dalam bukunya pendidikan berbasis realita. Dengan demikian
semikin luas rung gerak mahasiswa dalam berproses dalam dunia akaademiknya, maka
kesadaran tersebut akan cepat berkembang.
Sehabis
saya membaca beberapa karya paolo freire, saya baru menumkan makna pendidikan
yang sebenarnya. Ternyata sekolah maupun kuliah tidak hanya sekadar cari
ijazah, kerja, teman ataupun cari pengalaman. Makna pendidikan yang paling
substansial adalah bagaimana membangun kesadaran seseorang. Jika kesadaran itu
sudah terbangun dalam diri seorang, maka secara otomatis apa yang diharapkan
dalam dimensi pendidikan akan tercapai semua. Karena dengan kesadaran seorang
akan berpikir bagaiamana menjadi manusia yang bertanggung jawab pada diri
sendiri, kelurga, masyarakat pada konteks yang lebih luas lagi terhadap Bangsa
Indonesia.
Dengan adanya kesadaran tanggung
jawab terhadap diri sendiri, dia akan berpikir bagaimana agar dirinya berguna
untuk atas sesama yang berda disekitarnya, jika dia mahasiswa maka dia akan
berpikir bagaimana dirinya memberikan peran terhadap almamaternya. Kalau kita
meminjam kerangka berpikir freire kasadaran eksistensi–dirinya ada maka ia akan
berpikir asas manfaat keberadaan dirinya. Seseorang akan menjadi sukses jika
dalam dirinya tertanam kesadaran tangung jawab terhadap keluarga dan
masyarakat, tanpa kita cita-citakan pekerjaanpun telah kita dapatkan. Mahasiswa
tidak hanya kuliah saja, tentunya dia akan berdialektika pada ruang-runga
lain–berorganisasi, membaur dengan masyrakat sekitar, mengikuti perkembangan
isu-isu aktual yang terkait dengan kebangsaan dan media lain sebagainya yang
pasti terkait dengan rasa nasionalisme. Hal tersebut dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kesadaran tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya.
Budaya ilmiah merupakan
demiensi pendidikan demokratis, dari itu harus kita budayakan hal tersebut.
Budaya dialog akan mengahasilkan orang-orang kritis, terlepas dari apakah
dedongkot birokrasi takut punya mahasiswa yang sering mengkritisi kebijakan
mereka. Akan tetapi, yang pasti sejak konversi IAIN menjadi UIN, disertai
peraturan yang tidak bersahabat dengan mahasiswa, seperti diperlakukannya jam
malam dikantor pusat kegiatan mahasiswa, digabungnya seluruh kegiatan mahasiswa
didalam satu gedung, dan yang paling menonjol diberlakukan absensi 75 %, tak
cukup disitu, surat ijinpun tak berlaku kecuali dari dokter. Sekian paraturan
tersebut akan membunuh kreatipitas mahasiswa, terutama surat izin tak berlaku.
Secara implisit, seolah-olah mahasiswa dibatasi untuk memperoleh pengetahuan
diruang-ruang kulturtal. Sehingga sangatlah wajar kalau ada pandangan-pandangan
miring dari kampus tetangga (UGM, UNY) mahasiswa UIN sudah tak kritis lagi,
budaya diskusipun sudah tak terlihat dari pandangan mata. Padahal pada era 2000
kebawa, yang namanya IAIN begitu nyaman dengan pandangan disetiap pojok kampus
ada forum-forum diskusi.
Jika permasalahan
tersebut masih diindahkan oleh civitas akdemik terutama mahasiswa, artinya
mahasiswa tidak membudayakan pendidikan yang kritis-dialogis. Berarti kita
membiarkan Indonesia dalam keadaan terpuruk seperti sekarang ini–krisis
multidemensi. Secara prosentase kita mendapatkan ilmu dibangku kuliah hanya 30
%, selebihnya kita dapatkan diruang-ruang kultural–dari baca buku, diskusi,
seminar, pelatihan dan lain sebagainya. Menurut hemat penulis, belajar dari
pengalaman dan hasil pemahaman teori-toeri pendidikan, justru diruang
kulutrulah kita memperoleh pengetahuan secara maksimal–bukan berarti kuliah itu
tidak penting. Karena diruang kultural kita bersentuhan langsung dengan
realitas sosial sehingga kesadaran akan capat terbangun. Memang kurikulum yang
ideal harus berbasis realitas. jika kedaran sudah terbangun pada diri insan
akademik berarti dia telah mendapatkan esensi pendidikan yang sebenarnya.
Karena sia-sia kita
sukses diakaemik kalau kesadadaran tidak terbangun. Percuma nilai IPK 4,0 kalau
tidak mempunyai kesadarn sosial, sehingga ia menjadi mahasiswa yang individual,
tidak memberikan manfaat disekitar lingkungan dimana dia berada. Padahal
mahasiswa ideal adalah kita diluar kampus dia memposikan diri bagian dari
masyarakat yang akan memberikan kontribusi pada masyarakat tersebut. Percuma
punya jabatan yang tinggi kalu tidak mempunyai kesadaran membangun, sehingga
yang terbangun karekter opertunis dan menindas yang lemah. Percuma menjadi
dosen yang cerdas, tapi tidak punya kesadaran pendidikan yang demokratis
sehingga cendrung mengajar seadanya, karena meraka menganggap mahsiswa sebagai
objek.
Bukankah budaya
berdiskusi dan berdialog merupakan bagian upaya pendidikan yang demokrtis.
Andaikan mahasiswa-mahasiswa indonesia mempunyai jiwa kritis yang tinggi dan
mempunyai budaya diskusi. Mungkin di Indonesia akan berkembang budaya
pendidikan yang demokratis, bisa jadi mutuh pendidikan indonesia akan meningkat
dalam sekala Dunia. Selanjutnya, jika pendidikan Inidonesia sudah bermutuh
seperti negara-negara maju dunia, mungkinkah Indonesia akan bangun dari kondisi krisis berbagai bidang....????
*Penulis adalah Korp SMART’05 Kader PMII Rayon Syahadat Fak. Dakwah UIN
Ss-Ka.
0 komentar:
Posting Komentar