Rabu, 17 Oktober 2012
Rabu, 03 Oktober 2012
Puisi Buruk
12:23:00 PM
nasruddin
No comments
Catatan Sang Pendosa
Dalam renungan
penuh dosa
yang telah mampu
mendamaikan pikiran
aku menulis apa
yang melintas dalam benak
mungkin tiada
coretan yang seburuk ini
namun ternyata coretan
penguasa
yang mengkarat
dalam dinding penalaran
lebih memerahkan mata
dari bawang merah
irisan perawan
Sejalan dengan perlintasan angin dini
kutemukan sekat-sekat dalam ruang-ruang hampa
disana ada sang penyesal dosa
syukur tuhan, ternyata Engkau masih berikan
sesal
dalam jiwa pembangkang ini
bangsa ini sudah tiada rasa menyesal
telah menyiakan gunungan emas, barelan minyak
tumpukan rempah, bahkan anak-anak yang
tersenyum manis
Berjalan dalam pekat langit muram
karena melihat dia yang tersolek lemas
setelah belaian dosa menggeliati tubuhnya
mengejutkanku catatan hak-hak saudaraku yang telah kurampas
mereka memaksaku membayarnya
rasa gelisah menyelimuti alam keputusasaan
Sejarah adalah rampasanmu
yang kau simpan dalam gudang
dengan kunci sebuah penindasan
agar tahta tak menjadi kursi goyang
saat rakyatmu meradang dalam kelaparan akan kebenaran
Seraya meliarkan nalar
jumpa dengan bayang-bayang masa kecil
yang begitu suci tanpa dosa
secerca cahaya harap bersinar
memohon adanya kelahiran kembali jiwa
mungkin sang ibu memilih membunuh oroknya
jika matanya mampu menerawang masa depan
atau bahkan sang orok menolak untuk
dilahirkan
mungkin mereka tak sudi merebut kemerdekaan
jika kemerdekaan hanya memerdekaan kehancuran
walau lebih halus belainya
kehancuran tetaplah kehancuran
Posted in: tulisan
KREATIFITAS MAHASISWA DI TENGAH INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN
11:55:00 AM
nasruddin
No comments
Jika
ingin hancurkan sebuah bangsa,
maka
jauhkan pemudanya dari membaca...
peradaban bangsa hanya lahir dari pendidikan
Pendidikan
adalah sebuah usaha untuk memanusiakan manusia seutuhnya, menumbuhkan kesadaran
bahwa dirinya adalah individu yang bertuhan, bersosial dan mempunyai peran dan
fungsi serta tanggung jawab yang berbeda-beda di lingkungan hidupnya.
Memunculkan dan mengembangkan bakat-bakat yang masih terpendam dalam setiap
pribadi, karena setiap pribadi itu berbeda, tak satupun Allah ciptakan
mahlukNya sama.
Namun dalam
realitasnya, pendidikan justru sudah berpaling dari orientasi awal. Adanya
penyeragaman kompetensi peserta didik, layaknya ikan yang masuk ke pabrik
sarden yang tanpa berdaya, jadilah dia
kalengan sarden, yang semuanya sama kualitasnya. Begitulah kiranya mahasiswa
masuk ke pabrik sarjana (perguruan tinggi) untuk dijadikan kalengan sarjana
yang seragam dan sama kualitasnya. Dampak dari industrialisasi pendidikan itu
adalah matinya potensi peserta didik sebagai manusia yang pasti punya kelebihan
dibalik kekurangan dibarengi dengan gagalnya lembaga pendidikan membangun
generasi bermoral, ditandai degradasi moralitas bangsa pada saat ini. Sehingga
kemajuan bangsa dan negara ini masih jadi mimpi disiang bolong.
Predikat
berprestasi diberikan bagi mereka yang patuh pada sistem pabrikan ini , bukan
kepada yang kreatif dan bermoral serta mempunyai kesadaran tinggi dan kritis,
telah menjadi momok yang sangat menakutkan untuk tidak tunduk padanya, atau
bahkan menggiurkan dengan gambaran tawaran masa depan yang semuanya halusinasi.
Mahasiswa yang dalam hal ini adalah sebagai korban dari berjalannya sistem
tersebut, harus mempunyai jalan keluar. Memang benar melawan sistem itu berat
dan butuh waktu lama, bahkan mungkin akan hidup tidak wajar karena keluar dari
kebiasaan umum, dan benar pula bahwa tidak semua dampak yang dihasilkan sistem
tersebut itu buruk, namun banyaknya lubang yang harus ditutupi untuk menambal
kelemahan sistem tersebut adalah keharusan.
Aktifis pemerhati
tani mengadvokasi dengan mengorganisir para petani dan terbentuklah persatuan
tani yang memproteksi dirinya dari kegagalan panen ataupun tengkulak saat
pemasaran. Namun apakah sama cara mengadvokasi mahasiswa yang duduk
diperkuliahan dengan petani, agar mahasiswa mampu memproteksi dari bahaya
pembunuhan karakter atas sistem yang berlaku di perguruan tinggi, tentu sangat
berbeda. Mahasiswa adalah kaum ilmiah, penegak pengetahuan, maka yang
dibutuhkan hanyalah ruang, forum, komunitas ataupun organisasi untuk
aktualisasi diri, saling menambah pengetahuan, mengasah potensi, meningkatkan
kompetensi, menambal kekurangan-kekurangan yang ada dalam ruang perkuliahan dan
sebagainya. Sehingga proses yang akan berjalan adalah mahasiswa bersama
mahasiswa mempunyai kesadaran untuk memproteksi ancaman pembunuhan karakter
dengan bergerak bersama. Terciptanya suasana kampus yang kritis-dialektis dan
terakomodirnya kreatifitas dan aspirasi mahasiswa akan sangat membantu
mahasiswa lulus diwaktu yang tepat karena
matang dalam belajar di berbagai bidang, bukan sekedar tepat waktu dengan menyelesaikan kewajiban, yang padahal jika
kewajiban itu dijalankan saja, dampak yang akan dihasilkan masih halusinasi.
Menyiapkan diri sendiri dengan seluruh pengetahuan, kreatifitas dan keahlian
adalah keharusan dalam era globalisasi ini, maka paculah diri kita dengan
berdialektika dalam ruang-ruang diskusi mahasiswa.
Salam
Anti Industrialisasi Pendidikan...!!!
Posted in: tulisan
Sabtu, 09 Juni 2012
Kamis, 07 Juni 2012
pemuda
12:56:00 PM
nasruddin
No comments
Wacana tentang kondisi kaum muda
Indonesia akhir-akhir ini menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kata-kata
yang mengistilahkan kebiasaan mereka seperti hedonisme, konsumerisme,
plagiatisme, materialisme dan lain sebagainya tak kurang setiap hari di
perdengarkan, terkadang sumpah serapah dari orang-orang bijak di negeri
Nusantara juga mewarnai olok-olokan untuk pemuda di era globalisasi ini yang
telah kehilangan jati dirinya, pudarnya nasionalisme di dada mereka. Benarkah ?
Peringatan Soempah Pemoeda yang
baru saja berlalu sekejap mengangkat kepermukaan publik tentang borok mental
penerus bangsa. Aktivis dari berbagai lembaga dan para tokoh negeri yang masih
mempunyai idealisme untuk kemajuan Indonesia angkat suara mengabarkan kepada
masyarakat Indonesia bahwa generasi bangsa ini sedang sakit, buta, lupa,
terlena, hilang arah, amoral, tak bercita luhur dan banyak lagi kata untuk
menyebut kondisi anak bangsa saat ini. Meluncur dari berbagai media seakan
menjadi nuklir yang meluluhlantahkan apa yang di terpanya.
Namun, ternyata yang diterpa
nuklir itu hanya segelintir oknum dari bangsa ini, dia tidak sedahsyat
menghujam Hirosima dan Nagasaki yang mengakibatkan kesadaran pada bangsa Jepang
untuk segera bangkit dari keterpurukan. Diluar sana masih terlalu banyak
pihak-pihak yang tidak tersentuh radiasinya, atau sengaja menguburnya
dalam-dalam agar bangsa ini tertidur pulas atas keterpurukannya, penindasan dan
penjajahan yang tidak disadarinya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan
progresifitas putra-putri bangsa bermain dengan sangat halus dan cantik karena
kepentingan-kepentingan yang mereka ingin capai. Melalui media, kebijakan
politik, pendidikan, penggerusan budaya nasional dan lain sebagainya yang
mengarah pada suksesi kepentingan mereka. Lalu siapakah yang bertanggung jawab?
Kita bisa menilik realita ini
dari media informasi dan teknologi yang pada masa ini seakan menjadi guru besar
yang barang siapa tidak mematuhinya, maka kutukan akan menghantuinya. Tawaran
yang diajukan sang guru besar 80% adalah tuntunan ritual agama hedonisme dan
sejawatnya. Sementara 20% sisanya masih bisa dikatakan memberikan stimulus
untuk generasi bangsa meneruskan cita-cita kemerdekaan. Penikmat TV tak lagi
nyaman melihat tayangan edukatif, akan lebih menduduk maniskan tayangan yang
memberikan hiburan semata dan memacu hawa nafsu meningkat. Ketika seorang anak
SMA ditanya “paling suka nonton acara apa?” anda sudah tahu jawabannya, yang
pasti anda juga tahu bahwa acara itu tidak sedikitpun mengajarkan nilai-nilai
Pancasila . benarkan ?
Di sisi lain, pendidikan yang
menjadi embrio kwalitas generasi tak kunjung memberikan solusi. Sampai sekarang
tak tercetuskan kurikulum yang benar-benar mampu menanamkan moral,
membangkitkan nasionalisme, membentuk mental patriotis serta merangsang peserta
didik untuk membangun negeranya. Yang ada lembaga pendidikan menjadi ladang
bisnis yang menggiurkan dengan berlomba-lomba menaikkan SPP , mencetak
robot-robot intelektual yang siap menjadi budak untuk pembelinya, dan menjadi
ajang gengsi si kaya terhadap si miskin. Setuju bukan ?
Posted in: tulisan
Reaktualisasi Kesadaran (Peran) Mahasiswa
12:54:00 PM
nasruddin
No comments
Siapa mengira ketika tanggungjawab sebagai agent social of change and control yang
dimiliki oleh mahasiswa kini mulai tidak tampak lagi. Dari sekian keterpurukan
prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa, akhirnya hal ini hanya sebatas nama. Sehingga
kesadaran untuk melakukan perubahan seakan terhenti pada satu tumpuan yakni
akademik kampus. Dimana realitas mahasiswa hari ini lebih terlena dengan
kehidupan kampus yang menekuni aktivitas akademik, daripada melakukan advokasi ditengah-tengah
masyarakat.
Realita ini diperparah dengan sistem birokrasi yang
mengekang kreativitas mahasiswa. Dengan diberlakukannya absensi 75 % yang hampir
merata diseluruh kampus di Indonesia, seolah hal ini mengkerdilkan peranan
mahasiswa. Ketika mahasiswa melakukan sebuah advokasi yang terukur di masyarakat,
tetapi harus terbentur dengan tuntutan kampus dalam mengejar akademik. Sehingga
jam kerja untuk masyarakat terposir hanya untuk memenuhi kewajiban dikampus.
Belum berbicara soal gaya hidup mahasiswa hari ini.
Dimana mereka lebih bangga bersikap hedonis daripada berbincang masalah seputar
kebangsaan atau realita yang terjadi disekitar kehidupan kita. Padahal,
mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Seperti yang telah dicontohkan para founding
father kita, seyogyanya mahasiswa tidak hanya sebagai insan akademik
belaka, lebih dari itu dituntut untuk mampu mengaplikasikan ilmu akademik di
dalam kehidupan nyata.
Menumbuhkan Kesadaran
Fakta ini diperkuat dengan melihat teori dalam ilmu
sosial. Dalam catatan Paulo Freire (1970) dalam buku pedagogy of the
oppressed, kesadaran manusia itu dibagi ke dalam beberapa hal. Pertama,
kesadaran magis (magical consciousness). Suatu teori kesadaran yang
percaya akan adanya masyarakat tertindas dalam struktur sosial. Sehingga analisisnya
mengarah pada faktor diluar manusia. Dalam perspektif Freirean disebut sebagai
teori sosial fatalistik. Bagi golongan ini biasanya acuh tak acuh dengan
keadaan lingkungan yang ada disekitarnya.
Mereka tidak mau tahu apa yang menimpa orang lain.
Sehingga karakteristik orang seperti ini lebih identik dengan egois dan
pragmatis yang hanya mementingkan diri sendiri. Tanpa melihat sesungguhnya yang
terjadi pada realita serta kondisi dalam masyarakat.
Kedua,
kesadaran naif (naival consciousness). Kesadaran ini dikategorikan dalam
kesadaran masyarakat. Dalam kesadaran ini berkaitan dengan masalah etika dalam
perubahan sosial. Manusia jika sudah menjadi bagian dari kesadaran naif,
keinginan tahu terhadap realita cukup tinggi. Akan tetapi, untuk melakukan
sebuah perubahan mereka tidak seperti apa yang ada pada kesadarannnya. Identik
orang seperti ini hanya cukup tahu persoalan tanpa melakukan sebuah tindakan.
Selanjutnya, yang Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness).
Kesadaran ini lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sumber masalah.
Lebih mendekati pada analisis secara kritis struktural dari sistem politik,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dalam aplikasinya, orang seperti ini
identik dengan keingintahuannya cukup tinggi. Kemudian, setelah mengetahui
persoalannya mereka bergegas untuk melakukan sebuah tindakan demi perubahan.
Oleh karenanya, dari kategori kesadaran di atas, kita sebagai
insan manusia setidaknya berkaca pada diri sendiri, termasuk bagian darimana diri
kita. Sehingga dalam menjalankan peranan mahasiswa tidak lagi dituntut hanya
karena kepentingan akademik belaka. Tetapi, benar-benar murni kesadaran yang
timbul dalam hati sanubari kita.
Kemudian, dalam melakukan sebuah tindakan untuk sebuah
perubahan di dalam masyarakat. Tidak lagi berbicara tentang siapa yang harus
melakukan tindakan, jika dihadapan kita (seperti sistem birokrasi pemerintah)
banyak kemunafikan dan penyelewengan yang dianggap sudah mencederai amanah
konstitusi, maka kesadaran itu akan timbul. Baik diimplementasikan dalam bentuk
aksi demonstrasi, unjuk rasa, forum ilmiah, media tulisan dan lain sebagainya.
Maka dari itu, ketika kita
melihat banyak kemunafikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang terjadi
akhir-akhir ini krisis disintegrasi yang mengancam bumi Indonesia, mulai dari
krisis Papua, Mesuji dan Bima, masalah
itu sejatinya menjadi tumpuan untuk melakukan sebuah tindakan.
Namun, sebelum jauh menjawab persoalan itu,
tidak kemudian hanya berbicara dengan tong
kosong nyaring bunyinya. Dalam hal ini, tentu sebagai mahasiswa tidak hanya
sebatas retorika tapi perlu melakukan analisis yang cukup panjang. Sehingga
untuk menopang itu semua, wacana intelektual yang dikantongi diri sebagai
mahasiswa harus cukup dan mapan. Tidak hanya sebatas lantunan kata yang tiada
arti.
Oleh karena itu, sebuah
keniscayaan apabila mampu sadar tanpa ada paksaan dari pihak lain. Ketika akan
melakukan sebuah tindakan perubahan di dalam kehidupan bangsa ini. Untuk itu,
satu hal yang pasti harus kita miliki adalah wacana ilmu pengetahuan yang mapan. Demi terwujudnya masa depan
Indonesia gemilang, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.
Posted in: tulisan
SEBUAH MAHKOTA TANPA PERISAI
12:52:00 PM
nasruddin
No comments
Cahaya
senja berlalu meninggalkan asa
Tarian dedaunan
melambai pemberontakan
Dawai semilir
angin menyongsong pembebasan
Alam
termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa
Jiwa
meronta-ronta melawan penindasan
Kuasa tirani
bertaruh merebut keadilan
Lentera
kecil tak lagi kau indahkan
Alam
termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa
Getir nasib
kehidupan pinggiran
Pilar penyangga
goyah akan kebohongan
Sinar
cahaya kegelapan kau titahkan
Alam
termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa
Kau
berjanji, kau berdusta
Kau tawarkan
manis, kau berikan pahit
Sungguh Alam
termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa
Perjuangan
hanya akan berakhir dengan pertemuan sang Agung
Posted in: tulisan
Maraknya Budaya Hedonisme di Dunia Kaum Intelektual
12:50:00 PM
nasruddin
No comments
Tak di pungkiri saat ini keinginan untuk bermewah-mewahan dan
bersenang-senang semata atau berfoya-foya menjadi tujuan manusia. Budaya
hedonisme berasal dari kaum borjuis Eropa, dan menjalar secara spektakuler di
Amerika Serikat (AS). Hingga akhirnya anak Ibu Pertiwi juga terkena virus ini.
Ironisnya mahasiswa pun ikut terserang budaya hedonism yang pada
hakekatnya mahasiswa merupakan aset Negara yang menjadi harapan sebagai generasi
penerus dan bisa melakukn perubahan di kemudian hari. Namun pada kenyataannya
saat ini mahasiswa tak berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka tidak bisa
memfilter, memilah dan memilih mana yang lebih banyak menimbulkan kemaslahahan.
Jalan ke mall dan nongkrong lebih di pilih oleh mereka daripada membaca buku,
melakukan riset atau membuka ruang dialektika.
Tidak hanya mahasiwa biasa saja yang terjangkit budaya hedonism namun
mahasiswa pergerakan yang notabenenya adalah aktivis kampus juga secara tidak
di sadari terkena pula. Ketua komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga Muhammad
Ghufron berasumsi bahwa realitas saat ini mahasiswa melihat suatu permasalahan
hanya secara substansial sehingga tidak dapat menyelesaikan persoalan baru. Hal
ini terjadi karena mahasiswa berfikir tetapi melupakan dinamika social sehingga
cenderung instan dan mahasiswa seperti ini sering di sebut ‘mahasiswa
hedonisme’. ”Di era akses yang “ngapain
aja boleh” sebagai mahasiswa pergerakan seharusnya kita jangan hanya
mengembangkan diri kita di satu titik saja seperti demo, namun juga berperan
aktif dalam berbagai bidang sesuai tuntutan zaman misalanya berkecimpung di
seni music, tulis menulis dan sebagainya sesuai minat dan bakat yang di milki.”
Paparnya.
“Budaya hedonisme dapat di faktori oleh situasi lingkungan yang mana
sangat berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Popular culture dan lingkungan
social juga merupakan factor budaya hedonisme.” Ujar Abdul Kholid sebagai
Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Abdul Rozaki salah satu dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga
memaparkan masyarakat sangat suka dengan hal yang instan sehingga mengarahkan
mereka pada hedonisme. Dalam hal ini system kapitalisme menjadi akar budaya
hedonism. Media elektronik dan media massa pun menjadi elemen pendukung budaya
tersebut.
“Kalau dulu mayoritas mahasiswa dalam
kesehariannya memakai konsep filsuf Yunani kuno “saya berfikir, maka saya ada”. Berbeda dengan yang terjadi saat
ini, mahasiswa seakan memakai konsep “I
shop therefor I am”, sehingga dengan berbelanja, menghabiskan waktu untuk
shopping mereka akan di anggap keberadaannya.” Ujarnya semangat.
“Sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya mampu berproduksi jadi
tidak hanya berpredikat sebagai konsumen, akan tetapi dapat menciptakan
karya-karya ataupun ide-ide cemerlang sehingga mahasiswa dapat pula menjadi
produsen, selain itu mahasiswa juga harus berfikir kritis terhadap realitas
social yang terjadi dan menambah pengetahuannya dengan banyak membaca serta
belajar dari tokoh-tokoh kehidupan
misalnya Mahatma Gandhi yang menanamkan sifat kesederhanaan bagi manusia dan
masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang juga bisa dicontoh seperti Moh.Hatta dan
teman-teman seperjuangannya.” Tandas beliau mengakhiri.
Posted in: tulisan
MASA DENGANMU DI ATAP DEMOKRASI
12:48:00 PM
nasruddin
No comments
Atap demokrasi terlihat lengang
berkali-kali
ku tengok tak juga berubah.
Tak
terlihat satu orang pun yang
menari di atasnya
Saat malam purnama yang ku lakukan dulu
Sekali
lagi aku lihat atap
demokrasi
Gemerisik hujan yang jatuh membuat bunyi
gaduh hingga nafas beratku tak mampu terdengar
Pipiku juga sudah basah dari cucuran air hujan lewat tembok kecil didepanku atau lelehan
air bening dari pelupuk mataku
Aku kira senja sudah tiba
Tidak lagi aku jumpai kegarangan matahari
menyoroti bumi
tatkala hujan begini biasanya api mengalah
untuk air
Aku sering menari bersama hujan dengannya
Di
bawah langit mendung dan baju kuyup
Tawanya selalu merekah, sorot indah matanya yang tajam
sering
membuatku takut
Tapi aku selalu rindu ketika mataku dan
matanya bertemu
Seakan
ada sengatan listrik yang mendera
Merpati pun kadang ikut bersorak ketika
kedua jariku dan jarinya saling terpaut
Bagai
air bah yang tak mampu ku bending
Posted in: tulisan
Teresa, Perempuan Pahlawan Calcuta
12:46:00 PM
nasruddin
No comments
Dia siapa dari yang bukan siapa-siapa, dia di kenal dari yang tidak di kenal. Hidupnya tulus di dedikasikan untuk kemanusiaan. Tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Ikhas lahir dari sisi kemanusiaan.
Dialah bunda
Teresa, lahir dengan nama
Agnes Gonxha Bojaxhiu, 26 Agustus 1910. Perempuan kelahiran Republik
Kosovo inilah yang mengangkat derajat kaum papa hingga ia mampu
di kenang dunia. Berawal dari kisahnya
yang di mulai dari biara toretto di irlandia yang membawanya menuju India sebagai
guru di SMP St. Mary Calcuta. Duapuluh
tahun pengabdiannya tak terhenti. Mengajarkan huruf-huruf pada orang-orang yang buta huruf, menolong mereka yang kesusahan dan menebar kebaikan pada siapa pun. Tidak terbatas pada agama, tidak terhenti pada rupa dan tidak pamrih padaimbalan. Dia mulai membuka sekolah sendiri di tengah-tengah kawasan kumuh
di daerah calcuta, di ajarkannya anak-anak miskin dan kurus kering itu. Ia bahkan belaja robat-obatan sederhana dari para suster Biarawati sehingga mampu menolong
orang-orang miskin yang sakit, perjuangannya akhirnya menggugah gadis-gadis
alumni sekolah St. Mary dan kemudian bergabung bersamanya. Mengabdi untuk kaum yang menderita.
Suatu ketika,
bunda Teresa bertemu dengan dua wanita
yang terbuang, tubuhnya sudah terkoyak oleh tikus dan beberapa serangga
yang menggerogoti tubuh mereka. Dibawanya mereka pada rumah sakit
di kota tersebut. Penolakan mewarnai perjuangan seorang Teresa kala itu. Tak patah arang,
di bawanya kedua wanita tersebut pada pejabat pemerintah, berharap agar ada sedikit belas kasih pemerintah terhadap kaum terbuang seperti kedua perempuan itu. Takayal, sikap tidak simpati
pun di terimanya. Hingga ditawarinya gudang kosong tak terpakai
di sebelah sebuah kuil tak di pakai sebagai tempat menampung dua wanita tersebut. Dengan menitikkan
air mata bunda Teresa kemudian merawat kedua wanita tersebut. Sehari berselang,
tempat bernama Kalighatitu sudah datang
orang-orang miskin berkumpul dalam berharap.
Bertahun-tahun perempuan tak beralas kaki itu mengembangkan pelayanan, hamper setiap penderita
yang di jumpainya mendapat perawatannya. Tempat pelayanannya
di sesaki para kaum pesakitan yang di ambilnya dari pinggir-pinggir jalan, perkampungan kumuh. Orang-orang sebatangkara, anak-anak yatim piatu,
memberimakan orang-orang lapar, memunguti orang-orang yang terbuang, member pakaian pada orang-orang yang terlanjang, bunda
Teresa juga membuka klinik keluarga berencana dan memberiasa pada penderita lepra. Diamakan dari apa
yang mereka makan. Semua di lakukan tanpa mengharapkan balas.
Hingga nobel kemanusiaan pun hingga padanya, tidak mengurangi sedikit pun untuk rasa kemanusiaan dalam hatinya.
Tidak pula berbesar kepala atas apa
yang sudah di raih. Ia masih sederhana, humanis dan penuh kasih sayang.
Saat beberapa orang berjumpa dengannya selalu berkata bahwa bunda Teresa adalah karunia terbesar
yang di miliki dunia pada zamannya, tapi pujian itu justru ia bantah. “kenapa selalu banyak
kata daripada bekerja”.
Kutipan terakhir seorang Teresa “Kalau Anda melakukan pekerjaan ini untuk mencapai kemuliaan diri,
Anda hanya akan bertahan satu tahun, tidak lebih. Hanya jika Anda melakukan itu untuk Tuhan,
Anda akan maju terus, apa pun rintangannya.”
Perempuan memang memiliki sisi hebat yang tidak banyak kaum adam ketahui.
Berupa kasih sayang
yang tak terhingga, kemampuan bertahan yang tak terperikan dan kesabaran
yang hamper tak terbatas. Lihat pula perjuangan seorang ibu
yang kehilangan sosok suami dalam hidup, namun masih mampu menghidupi anak-anaknya tanpa harus mencari sosok pengganti suami
yang lain. Karena ketegaran, tekad kuat yang slalu
di sandarkan pada Sang pemilik hidup.
Sifat seorang ibu yang penuh kasih sayang,
perhatian dan keikhlasan. Selalu ada saja bahu untuk
orang bersandar. Tubuh kuat seorang
ayah memang tidak sekuat bahu seorang ibu, yang mampu menahan berat
yang terlihat maupun yang tidak tampak. Bahu
yang selalu ada, penuh kehangatan kasih sayang. Tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Hati yang tak pernah gersang untuk menolong sesama.
Posted in: tulisan