iklan

iklan murah

Rabu, 17 Oktober 2012


Rabu, 03 Oktober 2012

Puisi Buruk


Catatan Sang Pendosa
Dalam renungan penuh dosa
yang telah mampu mendamaikan pikiran
aku menulis apa yang melintas dalam benak
mungkin tiada coretan yang seburuk ini
namun ternyata coretan penguasa
yang mengkarat dalam dinding penalaran
lebih memerahkan mata
dari bawang merah irisan perawan
Sejalan dengan perlintasan angin dini
kutemukan sekat-sekat dalam ruang-ruang hampa
disana ada sang penyesal dosa
syukur tuhan, ternyata Engkau masih berikan sesal
dalam jiwa pembangkang ini
bangsa ini sudah tiada rasa menyesal
telah menyiakan gunungan emas, barelan minyak
tumpukan rempah, bahkan anak-anak yang tersenyum manis
Berjalan dalam pekat langit muram
karena melihat dia yang tersolek lemas
setelah belaian dosa menggeliati tubuhnya
mengejutkanku catatan hak-hak saudaraku yang telah kurampas
mereka memaksaku membayarnya
rasa gelisah menyelimuti alam keputusasaan
Sejarah adalah rampasanmu
yang kau simpan dalam gudang
dengan kunci sebuah penindasan
agar tahta tak menjadi kursi goyang
saat rakyatmu meradang dalam kelaparan akan kebenaran
Seraya meliarkan nalar
jumpa dengan bayang-bayang masa kecil
yang begitu suci tanpa dosa
secerca cahaya harap bersinar
memohon adanya kelahiran kembali jiwa
mungkin sang ibu memilih membunuh oroknya
jika matanya mampu menerawang masa depan
atau bahkan sang orok menolak untuk dilahirkan
mungkin mereka tak sudi merebut kemerdekaan
jika kemerdekaan hanya memerdekaan kehancuran
walau lebih halus belainya
kehancuran tetaplah kehancuran

KREATIFITAS MAHASISWA DI TENGAH INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN

Jika ingin hancurkan sebuah bangsa,
maka jauhkan pemudanya dari membaca...
peradaban bangsa hanya lahir dari pendidikan
Pendidikan adalah sebuah usaha untuk memanusiakan manusia seutuhnya, menumbuhkan kesadaran bahwa dirinya adalah individu yang bertuhan, bersosial dan mempunyai peran dan fungsi serta tanggung jawab yang berbeda-beda di lingkungan hidupnya. Memunculkan dan mengembangkan bakat-bakat yang masih terpendam dalam setiap pribadi, karena setiap pribadi itu berbeda, tak satupun Allah ciptakan mahlukNya sama.
Namun dalam realitasnya, pendidikan justru sudah berpaling dari orientasi awal. Adanya penyeragaman kompetensi peserta didik, layaknya ikan yang masuk ke pabrik sarden yang tanpa berdaya,  jadilah dia kalengan sarden, yang semuanya sama kualitasnya. Begitulah kiranya mahasiswa masuk ke pabrik sarjana (perguruan tinggi) untuk dijadikan kalengan sarjana yang seragam dan sama kualitasnya. Dampak dari industrialisasi pendidikan itu adalah matinya potensi peserta didik sebagai manusia yang pasti punya kelebihan dibalik kekurangan dibarengi dengan gagalnya lembaga pendidikan membangun generasi bermoral, ditandai degradasi moralitas bangsa pada saat ini. Sehingga kemajuan bangsa dan negara ini masih jadi mimpi disiang bolong.
Predikat berprestasi diberikan bagi mereka yang patuh pada sistem pabrikan ini , bukan kepada yang kreatif dan bermoral serta mempunyai kesadaran tinggi dan kritis, telah menjadi momok yang sangat menakutkan untuk tidak tunduk padanya, atau bahkan menggiurkan dengan gambaran tawaran masa depan yang semuanya halusinasi. Mahasiswa yang dalam hal ini adalah sebagai korban dari berjalannya sistem tersebut, harus mempunyai jalan keluar. Memang benar melawan sistem itu berat dan butuh waktu lama, bahkan mungkin akan hidup tidak wajar karena keluar dari kebiasaan umum, dan benar pula bahwa tidak semua dampak yang dihasilkan sistem tersebut itu buruk, namun banyaknya lubang yang harus ditutupi untuk menambal kelemahan sistem tersebut adalah keharusan.
Aktifis pemerhati tani mengadvokasi dengan mengorganisir para petani dan terbentuklah persatuan tani yang memproteksi dirinya dari kegagalan panen ataupun tengkulak saat pemasaran. Namun apakah sama cara mengadvokasi mahasiswa yang duduk diperkuliahan dengan petani, agar mahasiswa mampu memproteksi dari bahaya pembunuhan karakter atas sistem yang berlaku di perguruan tinggi, tentu sangat berbeda. Mahasiswa adalah kaum ilmiah, penegak pengetahuan, maka yang dibutuhkan hanyalah ruang, forum, komunitas ataupun organisasi untuk aktualisasi diri, saling menambah pengetahuan, mengasah potensi, meningkatkan kompetensi, menambal kekurangan-kekurangan yang ada dalam ruang perkuliahan dan sebagainya. Sehingga proses yang akan berjalan adalah mahasiswa bersama mahasiswa mempunyai kesadaran untuk memproteksi ancaman pembunuhan karakter dengan bergerak bersama. Terciptanya suasana kampus yang kritis-dialektis dan terakomodirnya kreatifitas dan aspirasi mahasiswa akan sangat membantu mahasiswa lulus diwaktu yang tepat karena matang dalam belajar di berbagai bidang, bukan sekedar tepat waktu dengan menyelesaikan kewajiban, yang padahal jika kewajiban itu dijalankan saja, dampak yang akan dihasilkan masih halusinasi. Menyiapkan diri sendiri dengan seluruh pengetahuan, kreatifitas dan keahlian adalah keharusan dalam era globalisasi ini, maka paculah diri kita dengan berdialektika dalam ruang-ruang diskusi mahasiswa.
 Salam Anti Industrialisasi Pendidikan...!!!


Sabtu, 09 Juni 2012

Kamis, 07 Juni 2012

pemuda


Wacana tentang kondisi kaum muda Indonesia akhir-akhir ini menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Kata-kata yang mengistilahkan kebiasaan mereka seperti hedonisme, konsumerisme, plagiatisme, materialisme dan lain sebagainya tak kurang setiap hari di perdengarkan, terkadang sumpah serapah dari orang-orang bijak di negeri Nusantara juga mewarnai olok-olokan untuk pemuda di era globalisasi ini yang telah kehilangan jati dirinya, pudarnya nasionalisme di dada mereka. Benarkah ?
Peringatan Soempah Pemoeda yang baru saja berlalu sekejap mengangkat kepermukaan publik tentang borok mental penerus bangsa. Aktivis dari berbagai lembaga dan para tokoh negeri yang masih mempunyai idealisme untuk kemajuan Indonesia angkat suara mengabarkan kepada masyarakat Indonesia bahwa generasi bangsa ini sedang sakit, buta, lupa, terlena, hilang arah, amoral, tak bercita luhur dan banyak lagi kata untuk menyebut kondisi anak bangsa saat ini. Meluncur dari berbagai media seakan menjadi nuklir yang meluluhlantahkan apa yang di terpanya.
Namun, ternyata yang diterpa nuklir itu hanya segelintir oknum dari bangsa ini, dia tidak sedahsyat menghujam Hirosima dan Nagasaki yang mengakibatkan kesadaran pada bangsa Jepang untuk segera bangkit dari keterpurukan. Diluar sana masih terlalu banyak pihak-pihak yang tidak tersentuh radiasinya, atau sengaja menguburnya dalam-dalam agar bangsa ini tertidur pulas atas keterpurukannya, penindasan dan penjajahan yang tidak disadarinya. Pihak-pihak yang tidak menginginkan progresifitas putra-putri bangsa bermain dengan sangat halus dan cantik karena kepentingan-kepentingan yang mereka ingin capai. Melalui media, kebijakan politik, pendidikan, penggerusan budaya nasional dan lain sebagainya yang mengarah pada suksesi kepentingan mereka. Lalu siapakah yang bertanggung jawab?
Kita bisa menilik realita ini dari media informasi dan teknologi yang pada masa ini seakan menjadi guru besar yang barang siapa tidak mematuhinya, maka kutukan akan menghantuinya. Tawaran yang diajukan sang guru besar 80% adalah tuntunan ritual agama hedonisme dan sejawatnya. Sementara 20% sisanya masih bisa dikatakan memberikan stimulus untuk generasi bangsa meneruskan cita-cita kemerdekaan. Penikmat TV tak lagi nyaman melihat tayangan edukatif, akan lebih menduduk maniskan tayangan yang memberikan hiburan semata dan memacu hawa nafsu meningkat. Ketika seorang anak SMA ditanya “paling suka nonton acara apa?” anda sudah tahu jawabannya, yang pasti anda juga tahu bahwa acara itu tidak sedikitpun mengajarkan nilai-nilai Pancasila . benarkan ?
Di sisi lain, pendidikan yang menjadi embrio kwalitas generasi tak kunjung memberikan solusi. Sampai sekarang tak tercetuskan kurikulum yang benar-benar mampu menanamkan moral, membangkitkan nasionalisme, membentuk mental patriotis serta merangsang peserta didik untuk membangun negeranya. Yang ada lembaga pendidikan menjadi ladang bisnis yang menggiurkan dengan berlomba-lomba menaikkan SPP , mencetak robot-robot intelektual yang siap menjadi budak untuk pembelinya, dan menjadi ajang gengsi si kaya terhadap si miskin. Setuju bukan ?


Reaktualisasi Kesadaran (Peran) Mahasiswa



Siapa mengira ketika tanggungjawab sebagai agent social of change and control yang dimiliki oleh mahasiswa kini mulai tidak tampak lagi. Dari sekian keterpurukan prestasi yang ditorehkan oleh mahasiswa, akhirnya hal ini hanya sebatas nama. Sehingga kesadaran untuk melakukan perubahan seakan terhenti pada satu tumpuan yakni akademik kampus. Dimana realitas mahasiswa hari ini lebih terlena dengan kehidupan kampus yang menekuni aktivitas akademik, daripada melakukan advokasi ditengah-tengah masyarakat.  
Realita ini diperparah dengan sistem birokrasi yang mengekang kreativitas mahasiswa. Dengan diberlakukannya absensi 75 % yang hampir merata diseluruh kampus di Indonesia, seolah hal ini mengkerdilkan peranan mahasiswa. Ketika mahasiswa melakukan sebuah advokasi yang terukur di masyarakat, tetapi harus terbentur dengan tuntutan kampus dalam mengejar akademik. Sehingga jam kerja untuk masyarakat terposir hanya untuk memenuhi kewajiban dikampus.
Belum berbicara soal gaya hidup mahasiswa hari ini. Dimana mereka lebih bangga bersikap hedonis daripada berbincang masalah seputar kebangsaan atau realita yang terjadi disekitar kehidupan kita. Padahal, mahasiswa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang telah dicontohkan para founding father kita, seyogyanya mahasiswa tidak hanya sebagai insan akademik belaka, lebih dari itu dituntut untuk mampu mengaplikasikan ilmu akademik di dalam kehidupan nyata.
Menumbuhkan Kesadaran
Fakta ini diperkuat dengan melihat teori dalam ilmu sosial. Dalam catatan Paulo Freire (1970) dalam buku pedagogy of the oppressed, kesadaran manusia itu dibagi ke dalam beberapa hal. Pertama, kesadaran magis (magical consciousness). Suatu teori kesadaran yang percaya akan adanya masyarakat tertindas dalam struktur sosial. Sehingga analisisnya mengarah pada faktor diluar manusia. Dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Bagi golongan ini biasanya acuh tak acuh dengan keadaan lingkungan yang ada disekitarnya.
Mereka tidak mau tahu apa yang menimpa orang lain. Sehingga karakteristik orang seperti ini lebih identik dengan egois dan pragmatis yang hanya mementingkan diri sendiri. Tanpa melihat sesungguhnya yang terjadi pada realita serta kondisi dalam masyarakat.   
Kedua, kesadaran naif (naival consciousness). Kesadaran ini dikategorikan dalam kesadaran masyarakat. Dalam kesadaran ini berkaitan dengan masalah etika dalam perubahan sosial. Manusia jika sudah menjadi bagian dari kesadaran naif, keinginan tahu terhadap realita cukup tinggi. Akan tetapi, untuk melakukan sebuah perubahan mereka tidak seperti apa yang ada pada kesadarannnya. Identik orang seperti ini hanya cukup tahu persoalan tanpa melakukan sebuah tindakan. 
Selanjutnya, yang Ketiga, kesadaran kritis (critical consciousness). Kesadaran ini lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sumber masalah. Lebih mendekati pada analisis secara kritis struktural dari sistem politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Dalam aplikasinya, orang seperti ini identik dengan keingintahuannya cukup tinggi. Kemudian, setelah mengetahui persoalannya mereka bergegas untuk melakukan sebuah tindakan demi perubahan.
Oleh karenanya, dari kategori kesadaran di atas, kita sebagai insan manusia setidaknya berkaca pada diri sendiri, termasuk bagian darimana diri kita. Sehingga dalam menjalankan peranan mahasiswa tidak lagi dituntut hanya karena kepentingan akademik belaka. Tetapi, benar-benar murni kesadaran yang timbul dalam hati sanubari kita. 
Kemudian, dalam melakukan sebuah tindakan untuk sebuah perubahan di dalam masyarakat. Tidak lagi berbicara tentang siapa yang harus melakukan tindakan, jika dihadapan kita (seperti sistem birokrasi pemerintah) banyak kemunafikan dan penyelewengan yang dianggap sudah mencederai amanah konstitusi, maka kesadaran itu akan timbul. Baik diimplementasikan dalam bentuk aksi demonstrasi, unjuk rasa, forum ilmiah, media tulisan dan lain sebagainya.
            Maka dari itu, ketika kita melihat banyak kemunafikan dalam kehidupan nyata. Seperti yang terjadi akhir-akhir ini krisis disintegrasi yang mengancam bumi Indonesia, mulai dari krisis  Papua, Mesuji dan Bima, masalah itu sejatinya menjadi tumpuan untuk melakukan sebuah tindakan.
             Namun, sebelum jauh menjawab persoalan itu, tidak kemudian hanya berbicara dengan tong kosong nyaring bunyinya. Dalam hal ini, tentu sebagai mahasiswa tidak hanya sebatas retorika tapi perlu melakukan analisis yang cukup panjang. Sehingga untuk menopang itu semua, wacana intelektual yang dikantongi diri sebagai mahasiswa harus cukup dan mapan. Tidak hanya sebatas lantunan kata yang tiada arti.
            Oleh karena itu, sebuah keniscayaan apabila mampu sadar tanpa ada paksaan dari pihak lain. Ketika akan melakukan sebuah tindakan perubahan di dalam kehidupan bangsa ini. Untuk itu, satu hal yang pasti harus kita miliki adalah wacana ilmu pengetahuan yang mapan. Demi terwujudnya masa depan Indonesia gemilang, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.
             

     

SEBUAH MAHKOTA TANPA PERISAI



Cahaya senja berlalu meninggalkan asa
Tarian dedaunan melambai pemberontakan
Dawai semilir angin menyongsong pembebasan
Alam termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa

Jiwa meronta-ronta melawan penindasan
Kuasa tirani bertaruh merebut keadilan
Lentera kecil tak lagi kau indahkan
Alam termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa

Getir nasib kehidupan pinggiran
Pilar penyangga goyah akan kebohongan
Sinar cahaya kegelapan kau titahkan
Alam termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa

Kau berjanji, kau berdusta
Kau tawarkan manis, kau berikan pahit
Sungguh Alam termenung menikmati alunan melodi tentang dunia yang dipijak nestapa
Perjuangan hanya akan berakhir dengan pertemuan sang Agung

Maraknya Budaya Hedonisme di Dunia Kaum Intelektual


Tak di pungkiri saat ini keinginan untuk bermewah-mewahan dan bersenang-senang semata atau berfoya-foya menjadi tujuan manusia. Budaya hedonisme berasal dari kaum borjuis Eropa, dan menjalar secara spektakuler di Amerika Serikat (AS). Hingga akhirnya anak Ibu Pertiwi juga terkena virus ini.

Ironisnya mahasiswa pun ikut terserang budaya hedonism yang pada hakekatnya mahasiswa merupakan aset Negara yang menjadi harapan sebagai generasi penerus dan bisa melakukn perubahan di kemudian hari. Namun pada kenyataannya saat ini mahasiswa tak berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka tidak bisa memfilter, memilah dan memilih mana yang lebih banyak menimbulkan kemaslahahan. Jalan ke mall dan nongkrong lebih di pilih oleh mereka daripada membaca buku, melakukan riset atau membuka ruang dialektika.

Tidak hanya mahasiwa biasa saja yang terjangkit budaya hedonism namun mahasiswa pergerakan yang notabenenya adalah aktivis kampus juga secara tidak di sadari terkena pula. Ketua komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga Muhammad Ghufron berasumsi bahwa realitas saat ini mahasiswa melihat suatu permasalahan hanya secara substansial sehingga tidak dapat menyelesaikan persoalan baru. Hal ini terjadi karena mahasiswa berfikir tetapi melupakan dinamika social sehingga cenderung instan dan mahasiswa seperti ini sering di sebut ‘mahasiswa hedonisme’. ”Di era akses yang “ngapain aja boleh” sebagai mahasiswa pergerakan seharusnya kita jangan hanya mengembangkan diri kita di satu titik saja seperti demo, namun juga berperan aktif dalam berbagai bidang sesuai tuntutan zaman misalanya berkecimpung di seni music, tulis menulis dan sebagainya sesuai minat dan bakat yang di milki.” Paparnya.

“Budaya hedonisme dapat di faktori oleh situasi lingkungan yang mana sangat berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Popular culture dan lingkungan social juga merupakan factor budaya hedonisme.” Ujar Abdul Kholid sebagai Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Abdul Rozaki salah satu dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga memaparkan masyarakat sangat suka dengan hal yang instan sehingga mengarahkan mereka pada hedonisme. Dalam hal ini system kapitalisme menjadi akar budaya hedonism. Media elektronik dan media massa pun menjadi elemen pendukung budaya tersebut.
 “Kalau dulu mayoritas mahasiswa dalam kesehariannya memakai konsep filsuf Yunani kuno “saya berfikir, maka saya ada”. Berbeda dengan yang terjadi saat ini, mahasiswa seakan memakai konsep “I shop therefor I am”, sehingga dengan berbelanja, menghabiskan waktu untuk shopping mereka akan di anggap keberadaannya.” Ujarnya semangat.

“Sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya mampu berproduksi jadi tidak hanya berpredikat sebagai konsumen, akan tetapi dapat menciptakan karya-karya ataupun ide-ide cemerlang sehingga mahasiswa dapat pula menjadi produsen, selain itu mahasiswa juga harus berfikir kritis terhadap realitas social yang terjadi dan menambah pengetahuannya dengan banyak membaca serta belajar dari  tokoh-tokoh kehidupan misalnya Mahatma Gandhi yang menanamkan sifat kesederhanaan bagi manusia dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang juga bisa dicontoh seperti Moh.Hatta dan teman-teman seperjuangannya.” Tandas beliau mengakhiri.

MASA DENGANMU DI ATAP DEMOKRASI


Atap  demokrasi terlihat lengang
berkali-kali ku tengok tak juga berubah.
Tak terlihat satu orang pun yang menari di atasnya
Saat malam purnama yang ku lakukan dulu
Sekali lagi aku lihat atap demokrasi

Gemerisik hujan yang jatuh membuat bunyi gaduh hingga nafas beratku tak mampu       terdengar
Pipiku juga sudah basah dari cucuran air hujan lewat tembok kecil didepanku atau lelehan air bening dari pelupuk mataku

Aku kira senja sudah tiba
Tidak lagi aku jumpai kegarangan matahari menyoroti bumi
tatkala hujan begini biasanya api mengalah untuk air

Aku sering menari bersama hujan dengannya
Di bawah langit mendung dan baju kuyup
Tawanya selalu merekah, sorot indah matanya yang tajam 
sering membuatku takut

Tapi aku selalu rindu ketika mataku dan matanya bertemu
Seakan ada sengatan listrik yang mendera
Merpati pun kadang ikut bersorak ketika kedua jariku dan jarinya saling terpaut
Bagai air bah yang tak mampu ku bending

Teresa, Perempuan Pahlawan Calcuta



Dia siapa dari yang bukan siapa-siapa, dia di kenal dari yang tidak di kenal. Hidupnya tulus di dedikasikan untuk kemanusiaan. Tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Ikhas lahir dari sisi kemanusiaan.
Dialah bunda Teresa, lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu, 26 Agustus 1910. Perempuan kelahiran Republik Kosovo inilah yang mengangkat derajat kaum papa hingga ia mampu di kenang dunia. Berawal dari kisahnya yang di mulai dari biara toretto di irlandia yang membawanya menuju India sebagai guru di SMP St. Mary Calcuta. Duapuluh tahun pengabdiannya tak terhenti. Mengajarkan huruf-huruf pada orang-orang yang buta huruf, menolong mereka yang kesusahan dan menebar kebaikan pada siapa pun. Tidak terbatas pada agama, tidak terhenti pada rupa dan tidak pamrih padaimbalan. Dia mulai membuka sekolah sendiri di tengah-tengah kawasan kumuh di daerah calcuta, di ajarkannya anak-anak miskin dan kurus kering itu. Ia bahkan belaja robat-obatan sederhana dari para suster Biarawati sehingga mampu menolong orang-orang miskin yang sakit, perjuangannya akhirnya menggugah gadis-gadis alumni sekolah St. Mary dan kemudian bergabung bersamanya. Mengabdi untuk kaum yang menderita.
Suatu ketika, bunda Teresa bertemu dengan dua wanita yang terbuang, tubuhnya sudah terkoyak oleh tikus dan beberapa serangga yang menggerogoti tubuh mereka. Dibawanya mereka pada rumah sakit di kota tersebut. Penolakan mewarnai perjuangan seorang Teresa kala itu. Tak patah arang, di bawanya kedua wanita tersebut pada pejabat pemerintah, berharap agar ada sedikit belas kasih pemerintah terhadap kaum terbuang seperti kedua perempuan itu. Takayal, sikap tidak simpati pun di terimanya. Hingga ditawarinya gudang kosong tak terpakai di sebelah sebuah kuil tak di pakai sebagai tempat menampung dua wanita tersebut. Dengan menitikkan air mata bunda Teresa kemudian merawat kedua wanita tersebut. Sehari berselang, tempat bernama Kalighatitu sudah datang orang-orang miskin berkumpul dalam berharap.
Bertahun-tahun perempuan tak beralas kaki itu mengembangkan pelayanan, hamper setiap penderita yang di jumpainya mendapat perawatannya. Tempat pelayanannya di sesaki para kaum pesakitan yang di ambilnya dari pinggir-pinggir jalan, perkampungan kumuh. Orang-orang sebatangkara, anak-anak yatim piatu, memberimakan orang-orang lapar, memunguti orang-orang yang terbuang, member pakaian pada orang-orang yang terlanjang, bunda Teresa juga membuka klinik keluarga berencana dan memberiasa pada penderita lepra. Diamakan dari apa yang mereka makan. Semua di lakukan tanpa mengharapkan balas.
Hingga nobel kemanusiaan pun hingga padanya, tidak mengurangi sedikit pun untuk rasa kemanusiaan dalam hatinya. Tidak pula berbesar kepala atas apa yang sudah di raih. Ia masih sederhana, humanis dan penuh kasih sayang. Saat beberapa orang berjumpa dengannya selalu berkata bahwa bunda Teresa adalah karunia terbesar yang di miliki dunia pada zamannya, tapi pujian itu justru ia bantah. “kenapa selalu banyak kata daripada bekerja”.
Kutipan terakhir seorang Teresa “Kalau Anda melakukan pekerjaan ini untuk mencapai kemuliaan diri, Anda hanya akan bertahan satu tahun, tidak lebih. Hanya jika Anda melakukan itu untuk Tuhan, Anda akan maju terus, apa pun rintangannya.”
Perempuan memang memiliki sisi hebat yang tidak banyak kaum adam ketahui. Berupa kasih sayang yang tak terhingga, kemampuan bertahan yang tak terperikan dan kesabaran yang hamper tak terbatas. Lihat pula perjuangan seorang ibu yang kehilangan sosok suami dalam hidup,  namun masih mampu menghidupi anak-anaknya tanpa harus mencari sosok pengganti suami yang lain. Karena ketegaran, tekad kuat  yang slalu di sandarkan pada Sang pemilik hidup.
Sifat seorang ibu yang penuh kasih sayang, perhatian dan keikhlasan. Selalu ada saja bahu untuk orang bersandar. Tubuh kuat seorang ayah memang tidak sekuat bahu seorang ibu, yang mampu menahan berat yang terlihat maupun yang tidak tampak. Bahu yang selalu ada, penuh kehangatan kasih sayang. Tanpa pamrih dan tanpa tendensi. Hati yang tak pernah gersang untuk menolong sesama.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators