iklan

iklan murah

Kamis, 07 Juni 2012

mahasiswa baru (cerpen)


Kicauan burung dengan suara merdu sambil menari menikmati pagi, seaakan sedang bernostalgia untuk menyambut hangatnya sang surya, suaranya menyapa, memberikan semangat tersendiri bagi jiwa-jiwa yang nyaman akan keindahan alam nusantara ini dan segala panorama yang ada, dimana kaki berpijak di bumi dengan segala isinya.
Sebelum tapak kakiku menyentuh tanah di kota pelajar, dulu dan sampai saat ini masih terngiang dan melekat sekelumit pesan yang orang tua titipkan kepadaku, “belajarlah dengan niat belajar”, ucapan ini persis yang telah di sampaikan pula oleh aktifis sejati baginda Rasul “utlubul ilma minal mahdi ilal lahdi. Maka sampai detik ini pun aku mulai hari dengan niat sungguh belajar. Dan sadar atau pun tidak sadar, saat ini aku adalah mahasiswa, dimana Orientasi seorang Mahasiswa itu,? Aku sendiri yang akan mencari dan menemukannya, walua berada dalam keadaan lingkungan bebas, tak lupa juga aku memikul tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang tua, sosial dan yang paling besar adalah tanggung jawab terhadap Pemilik diri. Karena orang tua hanyalah tau dan bangga akan anaknya sebagai mahasiswa.
Awal sebelum perkuliahan begitu jauh aktif, terbesit di pikiranku untuk ikut berorganisasi selain kuliah-kost dan kantin (3K), pada saat itu sangatlah membosankan, dan waktu itu juga aku berikhtiar memilih satu organisasi extra, untuk menjadi satu ruang tersendiri bagiku untuk mengembangkan ke-intelektualan yang mungkin aku rasakan masih sangat dangkal untuk lebih di isi dan di kembangkan, dan ternyata yang aku rasakan didalamnya tidak hanyalah itu bahkan lebih, karena disitu juga banyak ilmu yang aku dapat diluar bangku kuliyah, sebagaimana mahasiswa itu sebagai agent of control, agent of change, dan agent of social. Disini aku memulai melukis kegiatanku walau terkadang merasa cape’, letih, lesu dan lain seabgainya, tapi inilah jalan yang harus di hadapi dengan niat kesungguhan maka hari ini adalah milikku.
 Saatnya kuliah “, terikku lantang membentur tembok bangunan.
Aku melangkahkan kaki menuju ke kampus, yang dikatakan adalah kampus putih, kampus rakyat dan kampus perlawanan. Dahulu tak terlukiskan oleh benakku bagaimana indahnya kampus sebagai rumah sendiri, tempat berteduh kaum-kaum intelektual, ruang diskusi tanpa dibatasi oleh waktu tapi itu dulu, hari ini berbeda jauh dari apa yang aku dengar oleh seneor, namun masih sangat tergambar dibenak ini dengan menimba cerita-cerita dari angkatan sebelumku  yang masih berdomisili di lingkungan kampus ini.
 “Fiuhh, hari yang menantangku, tepat pukul 07.30 harus on time di dalam kelas karena dosen kali ini tak mengenal kompromi,hhee”,
Eits, dengungku”, memang dosen yang disiplin dan keilmuannya juga memang di perhitungkan daripada dosen-dosen yang lain, yang hanya sebagai fasilitator saja dalam kelas, kalau boleh mengandaikan, karena inilah yang terasa dan yang dirasakan.
“Ya, aku ikuti perkuliahan dengan seksama namun akhirnya bosan juga”.
Jarum jam menunjukkan Pukul 09.00 aku keluar bareng teman-temanku karena memang tak terasa satu mata kuliah telah rampung, bergegas aku menuju perpustakaan untuk mencari bahan diskusi pada sore nanti, diskusi bisa dikatakan adalah makanan keseharianku, karena ruang dialektika bukanlah hanya di dalam kelas saja, buktinya aku bersama sahabat-sahabatku se-organisasi bisa mewarnai ruang kelas dengan beradu argumen tantang keilmuan, karena ada atau tiada, dan sadar atau tidak sadar banyak teman-teman yang berada dalam kelas saat pelajaran dimulai berangkat dari ruang yang kosong, artinya hanya duduk manis dan menjadi pendengar aktif menerima segala argumentasi tanpa di sadari kebenarannya, padahal alangkah indahnya kelas bila di isi dengan suara-suara yang memang itu bisa menjadi bahan pertimbangan dengan cara berdialektika dan dari berbagai refrensi. Tidak percaya..? Check it out.
Saat langkah kakiku menuju ke perpus, terdengar suara dari belakang”.
 “Vic....!!!” suara sapaan lembut untuk namaku, vicky. Perlahan aku menoleh kebelakang dan ternyata yang manggil itu adalah salah satu sahabatku. Ya, namanya Riyan.
“what’s up Yan...??? wihh,,,makin cerah aja muka kamu” jawabku dengan sedikit bahasa inggris karena dulu kita di pertemukan dalam kesukaan bahasa yang sama.
“iya nich, biasa lagi gubed-gubed ada primadona baru di kampus sambil aku tersenyum manis!! “Tidak kok vic, jawabnya, aku hanya mau nitip surat izin buat Bu dosen Kajur tercinta, aku mau jemput adikku di stasiun”, dengan riangnya dia menjalani hari dengan senyuman yang selalu mewarnai teman-taman termasuk aku, dia pun berlalu setelah memberikan surat izin kepadaku untuk kuliah nanti pukul 11.00.
Memang Riyan sudah sepeti saudaraku disini, dia yang mengingatkanku bahwa dipelataran yang jauh dari tanah kelahiran dan keluargaku, yang seharusnya aku bisa hidup sesuka hati, bebas dan bersenang-senang tapi dia selalu bilang “apapun yang kamu lakukan, ingatlah orang tuamu, ingatlah siapa dirimu?! Motivasi tersendiri yang sangat agung bagiku, dan masih ada sahabat-sahabat yang lain yang sudah seperti keluargaku sendiri disini yang juga setia menemani aku dalam kondisi apa pun.
Di perpus aku dapatkan “aku berpikir, maka aku ada”, dari tokoh barat Rene Discarte, yang esensinya perlu di olah dalam diri pribadiku, aku tau bahwa aku mahasiswa tapi tidak semudah ini menurutku menjadi seorang mahasiswa, dimana-mana mahasiswa adalah pelajar di perguruan tinggi dan mendapat gelar S1 kala selesai, namun dibalik ini semua ada hal yang lebih besar yang perlu di pertanggung jawabkan terhadap lingkungan sosial dan khususnya diri sendiri, apakah itu.?! uhftttt....!” inilah sirkulasi kehidupan yang memang penuh akan perjuangan.
Semilir angin disore hari menjemputku, membawa awan biru ke arah tanpa batas, memberikan satu arti bahwa alam bumi ini akan terus berputar dan tiada yang tahu kapan akan berhentinya dunia ini selain Sang Pencipta keindahan itu sendiri yang Maha tau.
Setelah sedikit menimba ilmu-Nya dengan berdiskusi, kaki ini kembali melangkah tuk sejenak merebahkan tubuh di kost. Di perjalanan pulang ke kost aku temui teman yang lagi dalam gundah gulana.

            “Kenapa Rin, kamu kok kelihatan murung?” tanyaku kepada Ririn.
            “Eh, tidak kok kak, nggak kenapa-kenapa..” jawab dia dengan sedikit kaget di raut wajahnya.
            “Ehmm, semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya dan kalau memang ada sesuatu yang ingin di omongin, bilang ajah Rin” ibahku melihat sesosok wanita yang berhati sutra.
“Iyaa kak, makasih yah, aku cuman lagi sedih aja tapi maaf ya kak, sekarang aku masih belum bisa cerita, mungkin besok-besok aja kalo hati ini udah tenang, dengan senyum manisnya,  sedikit pintu kejelasan dari dia atas apa yang dirasakan dari wajah yang anggun menutupi kesedihannya.
            “Ya udah, aku ke kost dulu Rin, baik-baik aja yah”, aku pamit ke kost dengan ikut merasakan kesedihan itu walau pun belum jelas akan sebenarnya kesedihan itu.
Tanpa terpikir oleh para pujangga bahwa sesungguhnya hidup tidak hanya di hadapkan kepada individu saja, artinya hakikat hidup tidak bisa lepas dari Tuhan dan sosial, andaikan setiap insan itu ingat akan diri sendiri, keluarga, maupun kepada Pemilik hidup maka alangkah tentram hidup ini dengan warna-warni kehidupan yang di dambakan oleh seluruh manusia yang berinjak di bumi ini.

0 komentar:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Dcreators