Terkadang
keresahan-keresahan dalam hati menyalakan api perjuangan, berkobar dan tak
pernah padam. Tak pernah berhenti sebelum mati. Namun terkadang hanya menjadi
kebisuan-kebisuan yang membentur di relung jiwa. Tak pernah terjadi lalu pergi.
Cahaya matahari siang itu menyibak dari sela-sela awan yang menggumpal seperti
gumpalan-gumpalan salju. Cahaya menjadi kerlingan yang menyilaukan di jalanan
meski terlihat lengang ketika terdengar teriakan-teriakan yang merobek
dirgantara. Angin kering menerpa derasnya cucuran peluh, membawa suara ribuan
tapak kaki yang memecah kesunyian. Kibaran bendera Merah Putih menjadi warna di
bawah kaki langit dengan awan yang menggumpal di awal bulan April 2012. Sang
Saka Dwiwarna adalah simbol perlawanan rakyat. Dan aku adalah bagian dari
rakyat yang melawan, melawan binatang dengan mulut penuh air liur di setiap
taring-taringnya.
Di
akhir bulan Maret 2012, rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak seperti kobaran api
di ujung persumbuan meriam perang. Menyulut api-api kecil mendekat kepada kumpulan
mesiu yang menunggu-nunggu, lalu BOM ! Ledakan amarah rakyat takkan bisa
ditahan-tahan bahkan oleh badai lautan sekalipun. Sedang berbagai media cetak
maupun elektronik berlomba-lomba menarik pelatuk mitraliur. Menembaki
pemerintah dengan longsongan peluru-peluru tajam. Namun sayang, ribuan peluru tak
kuasa menembus perisai super kokoh di tangan mereka bernama tampuk kekuasaan.
Tepat
pukul 21.00 di suatu malam yang bergemuruh, sang juru kemudi berpidato di atas
podium kenegaraan. Sedang ledakan amarah masih berdentuman di wilayah
administratif negara. Satu pertanyaan yang terlintas dalam benakku, kenapa sang
juru kemudi menyibukkan diri untuk mencari berbagai pembenaran atas tindak
tanduknya ? Aku benar-benar tak mengerti. Sang juru kemudi membiarkan layar
yang berlubang tetap terkembang, berdiam diri selagi para penumpang mulai gaduh
karena air lautan mulai membanjiri pijakan kaki mereka. Sebagian awak kapal
berteriak ketakutan, mencoba mengingatkan sang juru kemudi bahwa badai akan
datang dan kapal tidak bersiap melawan. Sang juru kemudi masih diam, seolah
membiarkan badai menghempas kapal dan seluruh isinya hingga menjadi onggokan
puing-puing yang terapung tak berguna di lautan. Akan tetapi, penumpang mulai
bangkit dari kegaduhan, mereka berusaha menghalau air lautan yang merendam
pijakan kaki. Dan awak kapal mulai bertindak dari jerit ketakutan, mereka
merekatkan kain di lubang-lubang layar. Hingga kapal berwarna merah putih dan
bergambarkan Garuda siap melawan sang badai.
Apa
yang akan terjadi esok hari takkan pernah aku ketahui. Hanya satu yang pasti,
kita takkan mendapatkan apa-apa kecuali untuk bekal kita di akhirat kelak.
0 komentar:
Posting Komentar