Tak di pungkiri saat ini keinginan untuk bermewah-mewahan dan
bersenang-senang semata atau berfoya-foya menjadi tujuan manusia. Budaya
hedonisme berasal dari kaum borjuis Eropa, dan menjalar secara spektakuler di
Amerika Serikat (AS). Hingga akhirnya anak Ibu Pertiwi juga terkena virus ini.
Ironisnya mahasiswa pun ikut terserang budaya hedonism yang pada
hakekatnya mahasiswa merupakan aset Negara yang menjadi harapan sebagai generasi
penerus dan bisa melakukn perubahan di kemudian hari. Namun pada kenyataannya
saat ini mahasiswa tak berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka tidak bisa
memfilter, memilah dan memilih mana yang lebih banyak menimbulkan kemaslahahan.
Jalan ke mall dan nongkrong lebih di pilih oleh mereka daripada membaca buku,
melakukan riset atau membuka ruang dialektika.
Tidak hanya mahasiwa biasa saja yang terjangkit budaya hedonism namun
mahasiswa pergerakan yang notabenenya adalah aktivis kampus juga secara tidak
di sadari terkena pula. Ketua komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga Muhammad
Ghufron berasumsi bahwa realitas saat ini mahasiswa melihat suatu permasalahan
hanya secara substansial sehingga tidak dapat menyelesaikan persoalan baru. Hal
ini terjadi karena mahasiswa berfikir tetapi melupakan dinamika social sehingga
cenderung instan dan mahasiswa seperti ini sering di sebut ‘mahasiswa
hedonisme’. ”Di era akses yang “ngapain
aja boleh” sebagai mahasiswa pergerakan seharusnya kita jangan hanya
mengembangkan diri kita di satu titik saja seperti demo, namun juga berperan
aktif dalam berbagai bidang sesuai tuntutan zaman misalanya berkecimpung di
seni music, tulis menulis dan sebagainya sesuai minat dan bakat yang di milki.”
Paparnya.
“Budaya hedonisme dapat di faktori oleh situasi lingkungan yang mana
sangat berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Popular culture dan lingkungan
social juga merupakan factor budaya hedonisme.” Ujar Abdul Kholid sebagai
Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Abdul Rozaki salah satu dosen Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga
memaparkan masyarakat sangat suka dengan hal yang instan sehingga mengarahkan
mereka pada hedonisme. Dalam hal ini system kapitalisme menjadi akar budaya
hedonism. Media elektronik dan media massa pun menjadi elemen pendukung budaya
tersebut.
“Kalau dulu mayoritas mahasiswa dalam
kesehariannya memakai konsep filsuf Yunani kuno “saya berfikir, maka saya ada”. Berbeda dengan yang terjadi saat
ini, mahasiswa seakan memakai konsep “I
shop therefor I am”, sehingga dengan berbelanja, menghabiskan waktu untuk
shopping mereka akan di anggap keberadaannya.” Ujarnya semangat.
“Sebagai kaum intelektual, mahasiswa seharusnya mampu berproduksi jadi
tidak hanya berpredikat sebagai konsumen, akan tetapi dapat menciptakan
karya-karya ataupun ide-ide cemerlang sehingga mahasiswa dapat pula menjadi
produsen, selain itu mahasiswa juga harus berfikir kritis terhadap realitas
social yang terjadi dan menambah pengetahuannya dengan banyak membaca serta
belajar dari tokoh-tokoh kehidupan
misalnya Mahatma Gandhi yang menanamkan sifat kesederhanaan bagi manusia dan
masih banyak tokoh-tokoh lainnya yang juga bisa dicontoh seperti Moh.Hatta dan
teman-teman seperjuangannya.” Tandas beliau mengakhiri.
0 komentar:
Posting Komentar