Angin
malam penuh bau menyengat asap pedupaan.
Membaur diantara tiap tarikan nafas manusia. Kental dengan nuansa mistik, tanpa
seorangpun berani mengusiknya. Tempat itu lebih mirip pendopo, hanya tidak luas.
Pilar-pilar kayu yang telah lapuk seolah menjadi saksi akan kebisuan
orang-orang yang berkerumun disana. Tak ada yang berani angkat bicara. Yang dapat
terdengar hanyalah gesekan daun dari beberapa pohon beringin besar di sekitar pendopo.
Apa yang sedang mereka lakukan di tepi hutan ?
Malam itu sangat berbeda dari
malam-malam sebelumnya. Tak pernah sesunyi ini. Tak pernah semuram ini. Di
tempat mirip pendopo itu, hanya seorang yang tampak menonjol dengan tutup
kepala batik, dari pinggul sampai kaki, mengenakan selembar jarit motif parang
rusak yang terikat rapih. Pasalnya, tidak ada yang berpakaian semewah itu di
pendopo. Telah lama lelaki berjarit parang rusak itu berdiam diri pula.
Kemudian ia beranjak dari duduk setelah menghela nafas panjng dan pergi menuju
ke arah luar. Disempatkannya melihat sosok jasad yang terbaring kaku berselimut
rangkaian bunga sebelum pergi. Siapa jasad itu ? Entahlah. Kemana lelaki itu
akan pergi ? Entah ...
Terhuyung-huyung
ia melangkah, mendekat ke arah batu cadas hitam dan berhenti setelah mendengar
kecipak air di antara pohon-pohon tinggi di tengah belantara. Matanya nanar. Menatap
kosong, perlahan-lahan menitikkan air mata. Sambil terisak, lelaki itu mendekat
ke arah sungai. Menembus gulita.
**
“Ayo gek lis. Bangun !” teriak seseorang diluar sambil menggedor-nggedor pintu kamarku.
Brak ! Brak ! Kira-kira seperti itulah bunyinya. Ah, mau tidak mau memang aku
harus bangun agar suara itu tidak mengganggu lagi. Jujur saja, aku tidak menyukai
suara-suara keras, membuat pekak telinga saja. Simbok selalu seperti itu.
Padahal sudahku bilang baik-baik agar jangan lagi menggunakan bentakan, apalagi
gebrakan. Ia memang keras kepala.
Saban
hari pasti menggumam tidak karuan. Entah apa yang ia gerutui. Saat itulah aku
merasa bosan di rumah, lebih baik keluar dan ngelmu dengan jagad raya. Mencari makna kehidupan yang
sesungguhnya, pikirku. Satu yang
kutahu dari guru manusia ini, tidak pernah banyak bicara, meskipun aku sebagai
murid sering mencabik badannya sekalipun. Kepalanya diselimuti udara dan angin
yang tak pernah teratur, badannya adalah tanah dan gunung-gunung yang menjulang
hingga ke langit. Tangannya adalah tumbuhan yang mengakar dalam setiap
otot-otot yang kuat. Kakinya terus berputar, membuat magnet besar di alam raya
ini. Ketika ngelmu jagad inilah aku
sering menjumpai diriku seorang diri, ataukah memang aku yang ingin menyendiri.
Entahlah. Walau aku juga bukan seseorang yang bersifat selektif dan menutup
diri dari pergaulan manusia.
“Kehidupan seperti apakah yang kamu
inginkan ?” tanya seorang kawanku pada suatu kesempatan.
Sejenak aku berfikir, “Hidup bebas,
bebas seperti hewan di alam liar. Kehidupan manusia terlalu terbatasi, dijerat
tali-tali aturan pada tangan, kaki, dan pikiran kita.”
“Itu artinya, kamu membenarkan
orang-orang yang ingin berbuat jahat ?”
“Sampai matipun tak akan pernah
kubenarkan para bajingan itu.”
“Lantas ?” tanya ia dengan mimik muka
keheranan.
“Cukup aturan agama yang membelenggu
tangan, kaki dan pikiran kotor manusia. ”
“Bukankah aturan negara dan
aturan-aturan di masyarakat dibuat berdasarkan aturan agama ?”
“Kata siapa ? Kamu yakin kalau
negara dan masyarakatnya beragama ? Kalau memang mereka beragama, kenapa banyak
manusia mati ditangan manusia lain ? Mereka menghakimi dan membunuh dengan
pembenaran atas nama agama.” sejenak kuhembuskan nafas. “Apakah itu tabiat agama
sesungguhnya ?” tandasku.
Sejurus
kemudian ia hanya diam, dari sorot matanya aku tahu bahwa ia sedang
kebingungan. Mungkin sedang mencari pertanyaan lain ataukah sedang mencoba
memahami pernyataanku. “Tapi kenapa harus mirip hewan di alam liar ? Bukankah
manusia adalah manusia di alam teratur ?” lanjutnya.
“Pada
intinya, mereka yang mempunyai akal dan budi itu seharusnya tidak perlu banyak
aturan. Seperti hewan mengatur dirinya menurut dengan hukum alam, manusia-pun
seharusnya mengatur dirinya menurut aturan agama.” tandasku.
**
Perputaran roda kehidupan membuat
aku sadar bahwa didalam diri ini telah tumbuh benih-benih jiwa seorang pemberontak.
Romo dan simbok sering mengelus dada ketika mereka mencoba mengguruiku. Hanya
rasa hormat pada mereka masih tetap terjaga sampai saat ini. Walau sering tak kuhiraukan
kata-kata mereka. Karena apa yang ada dalam pikiranku selalu bertolak belakang
dengan apa yang mereka pikirkan.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan
untuk pergi menyendiri ke pelosok gunung Salirang di Tenggara. Sebelumnya memang
aku sudah meminta izin pada Romo dan Simbok, bukan restu. Hanya kata-kata kasar
yang Simbok berikan.
“Anak tak tahu malu !! Masih kurang
apa kamu dirumah ini ??!!” bentak Simbok. “Sudah bertahun-tahun aku mencoba
sabar mengasuhmu, dasar anak keterlaluan !! Kamu mau jadi apa diluar sana ??!!
Mau jadi bajingan ?? HA !! Sudah pergilah !! Anak tak tahu diuntung !!” tambahnya
sambil berlinang air mata. Romo hanya diam dan lebih memilih menenangkan
Simbok.
Aku sudah muak dengan segala aturan
di rumah. Mereka selalu menuntut tetapi tidak pernah memberikan sesuatu yang
lebih berharga daripada tuntutan mereka. Dalam urusan ini aku akan membenarkan
segala tindaktandukku. Tetapi aku sadar bahwa sesungguhnya rasa ingin tahu
dalam benak ini yang menuntunku melangkah lebih jauh ketimbang sekedar rasa
muak dan kebosanan saja.
Aku ingin
mencari makna kehidupan dengan jalan hidupku sendiri. Dan hidup selayaknya
bersanding suratan takdir Sang Gusti
Dewata Mulya Putra. Sebelum pergi, kutinggalkan secarik kertas, sebagai
ijin akan kepergianku.
Di beranda ini,
angin tak kedengaran lagi.
Langit terlepas
ruang menunggu
malam hari
Tudung belanga telah kukayuh sebelum
malam tiba.
Kudengar angin mendesak ke arah kita.
Di seruling,
bernyanyi baris dari rubaiat.
Di luar,
detik dan bahtera telah berangkat.
Sebelum bait pertama,
sebelum selesai kata.
Sebelum hari tahu,
kemana akan tiba.
Akupun tahu sepi kita semula
Bersiap kecewa,
bersedih tanpa
kata-kata.
**
Rentetan
air deras yang turun mengguyur tanah membuat diriku berlindung ke gua di kaki
gunung. Gua itu sangat gelap, hingga aku tak bisa melihat dan bergerak lebih
dalam lagi. Di mulut gua kucari beberapa ranting kering untuk membuat perapian.
Aku tak mau berbasah-basah seperti ini.
Sudah
empat musim berlalu. Sudah dua purnama, menyibak hutan belantara. Bertarung
dengan harimau lapar, dipatuk ular hijau pepohonan sudah biasa bagiku. Aku
pernah terjatuh dari tebing ketika kupanjat dan ternyata aku salah mengambil
kuda-kuda pijakan. Enam hari aku tak sanggup bergerak, beruntung aku terjatuh
didekat sebuah mata air. Perjalananku tak pernah berakhir, aku ingin menyerah
saja. Harus sejauh apa aku mendaki tebing curam ? Harus sekuat apa kakiku
melintasi pepohonan ?
Musim bediding selalu membuat sungai-sungai di
tengah hutan kehabisan air. Hewan pun tak ada yang ingin keluar menjumpaiku.
Inilah masa yang susah bagi diriku. Di tengah hutan, bertahan hidup sendirian.
Angin lembah bertiup kencang ketika aku memaksa untuk terus berjalan ke puncak
gunung. Aku dapat merasakan lemah denyut nadiku, kemana otot-otot yang dahulu
kuat mencengkram disetiap aliran darah. Kutopang badanku dengan patahan kayu
jati yang kutemukan di tengah perjalanan. Kapan aku mati ? Pertanyaan itu
selalu membayangiku disetiap langkah.
Bulan sedang purnama ketika aku
menjejakkan kaki pada bongkahan batu cadas hitam di tepi sungai kering. Lelah
menyibak belantara yang tiada habisnya, inilah ujung jalan dari segala
pencarian. Meski pada akhirnya aku tahu, aku tak akan pernah menemukan apa-apa
dan aku tak akan pernah kehilangan apa-apa. Kini, setiap hembusan nafasku tlah
terbaur dengan nafas sang guru, jagad raya. Tiba saatnya merebahkan segala
kehidupan yang pernah dititipkan padaku. Kini saatnya kembali ke alam keabadian.
Nafas telah terhenti ...
**
Purnama
telah berlalu, kini sang rembulan membentuk cahaya tipis menyerupai sabit.Cahayanya
temaram. Seolah sedang ikut berbela sungkawa, melihat jasad manusia yang
terbaring kaku pada tikar pandan berselimut bunga. Setiap manusia ditempat itu
tampak kumuh. Dari pakaian mereka, mereka mirip cantrik -- anak murid pandita.
Tak sepatah kata-pun keluar dari mulut mereka. Nafas setiap manusia menyetubuhi
asap pedupaan.
Orang dengan tutup kepala dan
berjarit itu berada paling dekat dengan jasad di atas tikar pandan. Dari busana
yang ia kenakan, semua orang disini pasti tahu bahwa lelaki itu adalah seorang pandita.
Ia beranjak dari duduknya, menghidupkan dupa, lalu pergi menembus belantara.
Lelaki itu berjalan menuju ke arah sungai di tengah hutan.
Air matanya meleleh tak terbendung. “Terlalu
jauh... dirimu mencari makna kehidupan ...” ucap lelaki itu sambil terisak. “Apa
yang pernah kau rasakan, apa yang pernah kau lihat, apa yang kau pernah dengar,
disitulah hakikat hidup yang sesungguhnya.” sejenak diusapnya butir-butir air
yang bergulir deras di pelupuk mata. ”Yang kau cari selama ini adalah cinta.
Cinta kepada semua yang kau temui selama ini selama perjalanan hidupmu, Anakku
...”
***
0 komentar:
Posting Komentar